Pantai Paradiso

Mengobati Sendu dengan Menikmati Senja Di Pantai Paradiso – Kota Kupang

Memandang mentari sore yang tenggelam di balik lautan adalah sesuatu yang sangat mengagumkan. Aku merasakan ketenangan yang hakiki tatkala menyaksikan pemandangan itu. Namun, berbeda untuk kali ini. Sendu justru menemani ketika mentari menuju tempat peristirahatan, di balik laut biru yang mulai bergradasi dengan warna jingga. Angin menerpa wajah seakan menyadarkanku dari lamunan dan bersiap untuk menerima kenyataan. Pahit, memang, tetapi kubiarkan rasa pahit itu mengalir begitu saja, layaknya secangkir kopi yang tertelan ke dalam kerongkongan. Aku percaya, meskipun dalam kesendirian, kesunyian, dan rasa rindu yang teramat dalam, pasti akan ada secerca harapan. Seperti indahnya Pantai Paradiso yang terhampar di depan mata, Tuhan menciptakan keindahan di balik rasa sendu.

Mencari Keindahan

Dua hari berlalu setelah aku menginjakkan kaki di Kota Koral untuk yang pertama kalinya. Ini baru hari kedua tetapi seperti sudah dua puluh tahun, rasanya waktu berputar lebih lambat dan lebih menyedihkan. Bukan karena tempatnya, sungguh bukan karena itu. Justru aku sangat menyukai kota ini, kota yang sangat tenang dan damai. Aku merasa sedih karena jauh dari keluarga, jauh dari anak istri yang terpisah jarak tak kurang dari 2500 KM. Aku merindukan mereka, ingin mereka segera menyusul ke sini. Namun, keadaan membuat kedatangan mereka tertunda. Aku hanya bisa pasrah sampai saat itu tiba.

Beruntung bagiku karena Kota Kupang berada di daerah pesisir sehingga memiliki jajaran pantai yang cukup panjang. Fakta tersebut tidak aku sia-siakan. Aku segera menyusun rencana untuk pergi ke pantai itu. Sepertinya Tuhan merestui. Saat mentari terik mulai meredup, sebuah notifikasi di ponselku berbunyi. Aku diberi tahu untuk membeli berbagai perlengkapan penunjang kerja seperti papan nama, topi, sepatu, dan sebagainya di sebuah toko terdekat. Itu pesan dari seniorku. Ternyata toko yang diinformasikan oleh seniorku berada di dekat pesisir utara Kota Kupang. Memang keberuntungan sedang berpihak kepadaku.

Rute Ke Pantai Paradiso

Aku kembali menyusun rencana agar bisa menyambangi salah satu pantai yang ada di kota ini. Segera kucari pantai terdekat dari toko itu melalui google maps. Ternyata ada sebuah pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari situ, hanya sekitar 2 KM saja. Pantai tersebut bernama Paradiso. Ada keunikan tersendiri yang membuatku tertarik dengan pantai ini. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi pantai tersebut. Jika dihitung-hitung, perjalanan yang harus aku tempuh yaitu sekitar 3 KM menuju toko, lalu lanjut ke Pantai Paradiso sekitar 2 KM, total perjalanan sekitar 5 KM. 

Setelah menemukan keindahan yang dicari, aku segera bergegas mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengunjungi tempat tersebut. Rencananya aku akan berangkat setelah Sholat Ashar. Kuambil tas slempang kosong yang tergantung di balik pintu, lalu kumasukan beberapa barang dan perbekalan. Aku hanya membawa bekal sebotol air karena memang di kontrakan belum menyediakan persediaan makanan. Pikirku, aku bisa membeli makanan nanti di perjalanan. Oh, iya. Perjalanan kali ini akan aku tempuh dengan berjalan kaki. Selain bisa menyehatkan badan juga bisa menghemat uang.

Menuju Pantai Paradiso

Aku mulai perjalanan sekitar pukul 15.30 WITA. Perkiraan sampai Pantai Paradiso sekitar 1 jam, jadi kemungkinan pada pukul 16.30 WITA aku sudah di sana. Diawal perjalanan aku memilih untuk berjalan santai sembari menghafal tempat-tempat penting seperti sekolah, rumah sakit, dan masjid. Setelah sekitar 100 meter berjalan, aku sampai di akhir gang, tepat di samping jalan raya. Mulai dari sini, banyak kendaraan yang berlalu lalang. Aku langsung dihadapkan dengan sebuah pertigaan yang di tengahnya terdapat lingkaran dan sebuah tugu. Sangat ikonik. Entah apa nama pertigaan ini, tetapi aku menyebutnya dengan nama Pertigaan Oebufu, sama seperti nama kampung ini.

Setelah melewati pertigaan, jalanan sedikit menurun, lalu kembali normal. Aku terus menyusuri Jalan W.J. Lalamentik sekitar 300 meter kemudian belok kiri ke arah Jalan Soverdi. Jalan ini sedikit agak kecil dari sebelumnya, tetapi masih ramai dengan lalu lalang kendaraan. Tak berapa lama, aku melewati sebuah rumah sakit. Aku harus mengingat lokasinya karena rumah sakit adalah salah satu tempat yang paling penting. Setelah menyusuri Jalan Soverdi sejauh 500 meter, aku kembali bertemu dengan jalan besar. Ini adalah Jalan Bundaran PU. Kondisi jalan kembali ramai karena di samping kiri dan kanan jalan terdapat jajaran warung, kios, dan pusat perbelanjaan.

Monumen Tirosa

Aku terus lurus menyusuri jalan sembari menikmati sore di Kota Kupang. Ada satu hal yang baru aku sadari di sini. Hey, lihatlah! Langit di sini sangat jernih. Aku bisa melihat warna biru terang tanpa polusi menyelimuti. Sementara itu di ujung horizon sana, Comulus menghiasi dengan gagahnya, putih dan menawan. Meskipun tubuh ini disirami sinar mentari, tetapi panasnya tidak menyiksa. Panas mentari sore yang cukup hangat seperti memeluk tubuh untuk menguatkan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,7 KM akhirnya aku sampai di ujung Jalan Budaran PU. Kini aku tahu mengapa jalan ini bernama Bundaran. Sebab di ujung jalannya terdapat sebuah bundaran yang cukup besar. Bundaran ini menghubungkan empat jalur besar yang di tengahnya terdapat sebuah monumen berbentuk patung dari 3 tokoh besar di daerah ini. Monumen tersebut bernama Tirosa, tetapi orang sini menyebutnya sebagai Bundaran PU karena digagas oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum saat itu.

Aku terus berjalan lurus memutari Monumen Tirosa. Sekitar 400 meter kemudian aku sampai di toko yang ditunjukkan senior. Di sini aku sudah bisa melihat laut karena memang dataran di sektar lebih tinggi. Urusanku di toko sudah selesai, aku kembali  melanjutkan perjalanan ke arah pantai. Jalan kembali menurun, sebelum akhirnya datar lagi. Aku harus menempuk jarak sekitar 2 KM meter lagi, menyusuri beberapa jalanan menurun, pemukiman, dan gang-gang yang terdapat anjing berkeliaran. Di daerah ini memang lumrah memelihara anjing. Hingga akhirnya, setelah menempuh sekitar 5 KM perjalanan dengan waktu kurang lebih 1,5 jam, aku sampai di Pantai Paradiso.

Keindahan Pantai Paradiso

Pantai Paradiso berada di dekat jalan dan tidak ada biaya masuk untuk menikmati keindahannya. Aku hanya perlu berbelok ke kanan dari jalan lalu menyusuri jalan kecil hingga sampai di depan tulisan besar “PANTAI PARADISO”. Aku disambut suara pemuda-pemuda yang bernyanyi dan bermain gitar di tepi laut. Angin menerpa wajah, membuat rambutku melambai-lambai. Suasana terasa sejuk, tenang, dan damai. Beberapa suara pengunjung yang berlarian atau bersenda gurau dengan keluarga beradu dengan desiran ombak yang mendominasi.

Pintu Masuk Pantai Paradiso

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WITA. Mentari semakin dekat dengan horizon. Pandanganku belum sepenuhnya menyisiri setiap jengkal pantai. Aku masih belum menyadari sebuah keunikan di pantai ini, sebab pandanganku teralihkan oleh sebuah keluarga yang sedang bermain air. Aku jadi teringat istri dan anak di rumah. Andai saja mereka ada di sini, mungkin aku bisa menikmati keindahan Pantai Paradiso dengan seutuhnya. Ragaku berada di tepi pantai tetapi jiwaku jauh melayang, kembali ke rumah, teringat mereka. Seketika aku pun tersadar. Bukankah aku bisa menikmati semua keindahan ini bersama mereka? 

Pantai Paradiso yang Eksotis

Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas lalu menekan tombol untuk melakukan panggilan video. Ponsel berbunyi pertanda panggilan sedang disambungkan, hingga beberapa saat kemudian dua wajah memenuhi layar. Aku tersenyum melihat wajah-wajah cantik mereka, istri dan anakku. Awalnya mereka hanya menanyakan hal-hal biasa, sebelum akhirnya mereka berteriak kaget ketika aku mengalihkan panggilan video ke kamera belakang. 

“Waaah… Lihat, Na, Papah lagi di pantai,” Seru istriku, “Tiba-tiba nyampe pantai aja.”

“Iya, nih, toko membeli perlengkapan kantor dekat dengan pantai. Ga terlalu deket, sih sebenernya… Hahaha…” 

Pantai apa itu, Pah? Kesitu naik apa?” Istriku penasaran.

“Pantai Paradiso. Ke sini jalan kaki, hitung-hitung olah raga… wkwkwkwk… Nanti kita main ke sini, ya…”

Menikmati Pantai Paradiso

Anakku juga penasaran dengan pantai ini, terlihat dari wajahnya yang semakin dekat dengan kamera. Gemas sekali melihat tingkahnya itu. Setelah beberapa percakapan dan menikmati keindahan Pantai Paradiso secara online, aku mengakhiri panggilan. Aku hendak pulang agar tidak kemalaman di jalan. Sejujurnya setelah melakukan panggilan video, suasana hatiku sedikit lebih tenang. Aku seperti kembali di kehidupan nyata dan siap menghadapi kenyataan. Dan disaat itulah aku menyadari sesuatu.

Pantai Paradiso yang Unik

Sebelum pulang, dengan suasana hati yang sudah membaik, aku kembali menyusuri Pantai Paradiso untuk menikmati keindahannya sekali lagi. Tak lama kemudian mataku membulat. Hey, lihat pohon itu! Ini adalah pemandangan langka, sangat unik. Aku baru melihatnya di sini. Ternyata di pantai ini terdapat pohon yang cukup besar dan sangat dekat dengan laut. Sebelum aku menceritakan tentang pohon ini lebih detail, aku ingin menjelaskan terlebih dahulu seperti apa gambaran Pantai Paradiso. Di sepanjang pantai ini terdapat sebuah dinding menyerupai tanggul. Mungkin tanggul untuk menahan ombak ketika air laut pasang? Entahlah. Aku harus menuruni tembok ini agar sampai di pantai. Tak perlu khawatir karena temboknya tidak terlalu tinggi dan terdapat tangga di sana.

Tangga Menuju Pantai Paradiso

Setelah menuruni tangga, akhirnya aku menginjakkan kaki di pasir putih Pantai Paradiso. Hamparan pasir di sini memang tidak terlalu luas, tetapi cukuplah untuk berlari-larian dan bersenda gurau dengan keluarga. Setelah hamparan pasir putih, ke arah laut, terdapat gugusan batu karang atau entah apalah itu. Aku sebut saja gugusan karang. Wilayah batu karang sedikit lebih luas dari pasir putih dan berbatasan langsung dengan laut. Di beberapa titik gugusan karang terdapat genangan air laut yang terjebak dan jika beruntung terdapat ikan juga di sana. Sepertinya gugusan karang dan pasir putih ini akan tenggelam ketika air laut pasang? Di gugusan karang inilah pohon unik itu berdiri.

Aku sangat heran mengapa ada pohon di gugusan karang seperti ini. Apa lagi ketika air laut pasang, tentu pohon tersebut akan tergenang air laut. Lalu bagaimana ia tetap hidup dan berdaun lebat? Entahlah. Namun, aku menduga kalau itu adalah sejenis pohon bakau yang memang habitatnya di tepi pantai seperti ini. Sekali lagi, itu hanya dugaanku saja.

Tak terasa mentari semakin mendekati mendekati horizon. Warna biru laut mulai bergradasi dengan jingga, menciptakan bias cahaya mengagumkan. Senja datang. Aku lupa harus segera pulang. Suasana di Pantai Paradiso sungguh menenangkan. Aku masih bisa mendengar para pemuda yang bernyanyi dan bermain gitar, diiringi hembusan angin dan deburan ombak lautan. Sesekali terdengar kicauan burung yang hendak kembali ke sarang. Suara-suara itu berpadu menjadi satu, melebur, mencair, dan mengalir mengikuti alur Semesta. Sungguh pemandangan yang sangat mengagumkan. Tenang dan damai. Pantai ini akan selalu kukenang dalam ingatan karena menjadi keindahan pertama yang aku jumpai di Kota Kupang. Paradiso, terima kasih karena telah menjadi teman untuk menemani kerinduan yang sangat dalam.

Kembali Pulang

Mentari hampir menyentuh kaki langit, temaram akan datang. Sebelum itu benar-benar terjadi, aku memutuskan untuk pulang. Aku tahu, seharusnya sudah sedari tadi kaki ini melangkahkan pergi. Namun, pesona Pantai Paradiso menahanku, seakan kaki ini berat dan tak mau melangkah. Andai saja aku punya sedikit waktu lagi, tentu aku ingin menyaksikan mentari tenggelam di ufuk barat. Di arah keluargaku berada, di Tanah Jawa nan jauh di sana. Apa mau dikata, waktu tidak memberikan kesempatan. Aku pun melangkah pergi meninggalkan pantai ini.

Waktu menunjukkan pukul 17.30 WITA ketika aku meninggalkan pantai. Menurut perkiraan, perjalanan yang harus kutempuh sekitar 1,5 jam. Itu berarti aku harus menunaikan sholat di masjid terdekat dari jalan yang aku lalui. Sambil berjalan aku membuka google maps untuk mencari rute dan masjid. Ternyata google maps menunjukkan rute yang berbeda ketika aku berangkat tadi. Rute ini merupakan jalan pintas yang melalui jalan-jalan kecil. Lebih cepat sampai, tetapi aku tidak memilihnya karena tidak ada masjid di sepanjang rute itu. Hingga akhirnya aku memilih rute yang tadi aku lalu karena di titik tertentu dalam rute itu terdapat masjid. Jadilah aku menyusuri rute yang sama seperti berangkat tadi. 

Patung Tirosa Malam Hari

Pada perjalanan pulang ini aku mengambil langkah lebih cepat karena mengejar sholat maghrib di masjid tujuan. Letaknya tidak terlalu jauh dari Monumen Tirosa, menyurusri Jalan Budaran PU sekitar 15 menit, dan masuk ke dalam gang. Tak jauh dari situ tedapat sebuah masjid yang cukup besar. Aku pun sejenak berhenti di masjid tersebut untuk menunaikan kewajiban. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari situ terdapat jajaran warung, kios, dan pusat perbelanjaan. Aku memutuskan berhenti sejenak di salah satu warung untuk mengisi perut yang mulai meminta haknya.

Makanan Di Kupang

Setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan. Menikmati setiap langkah pada malam hari di jalan Kota Kupang. Suasana jalan terlihat berbeda di malam hari. Mungkin karena gelap dan tidak ada penerangan di beberapa titik jalan. Bahkan saat aku menuju kontrakan, ada sebuah daerah yang semua lampu rumahnya mati, mungkin sedang pemadaman listrik. Terlepas dari semua ini, aku merasa jalanan di sini cukup lengang. Tenang, tidak ada macet-macetan. Hal seperti ini berlaku juga ketika jam masuk dan pulang kerja. Serius! Jauh berbeda dengan hiruk-pikuk Ibu Kota yang… yaa… tau sendiri lah. Akhirnya aku sampai di kontrakan dengan selamat. Malam itu, aku bertekad untuk segera membawa istri dan anakku kemari. Aku tak sabar ingin menjelajahi keindahan Kota Kupang lebih jauh lagi bersama keluarga tercinta.

Kontrakan Di Kupang

Artikel Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *