Setelah Sebulan Tinggal Di Kupang, Nusa Tenggara Timur
Waktu berlalu, hari berganti, minggu telah berubah, sudah genap sebulan aku tinggal di Kota Koral ini. Ada banyak pelajaran yang aku dapatkan, mulai dari arti rindu, adaptasi, bertahan hidup, hingga penerimaan terhadap takdir Tuhan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semua itu akan aku ceritakan dalam tulisan singkat ini. Perlu diketahui bahwa tujuanku menulis catatan ini bukan untuk menakut-nakuti atau memberikan kesan negatif kepada satu pihak, tetapi murni untuk memberikan pengalaman agar para pembaca bisa mengambil sisi baik dari sini. Aku berharap, para pembaca juga bisa mengambil pelajaran dari kisahku ini. Semoga bermanfaat.
Menerima Takdir Tuhan
Takdir Tuhan memang tak selalu sejalan dengan rencana yang sudah kita buat. Terkadang, Tuhan seperti menghancurkan rencana indah dalam hidup ini dengan takdir-Nya yang sangat jauh berbeda dari keinginan kita. Lalu, sebagai manusia yang menjadi hamba-Nya, apa yang harus kita lakukan ketika mendapatkan takdir seperti itu? Jawabannya hanya satu, yaitu Percaya. Percaya bahwa sebenarnya Tuhan sedang menuntun kita untuk menjalani rencana-Nya yang jauh lebih baik.
Berbicara tentang takdir Tuhan, rencana yang hancur, dan pelajaran hidup, aku mungkin menjadi salah satu orang yang beruntung. Sebab aku memiliki kisah pahit yang diberikan oleh Tuhan melalui semua pengalaman itu. Dulu, aku punya rencana yang sangat indah dalam hidupku. Namun, Tuhan menghancurkan rencana indahku itu dengan Takdir-Nya yang menurutku memilukan. Aku seperti dipaksa menjalani sesuatu yang tak kuinginkan. Pahit. Hingga di suatu titik, aku sadar bahwa rasa pahit itu adalah obat yang berguna untuk menyembuhkan. Tuhan sebenarnya sedang menuntunku menuju rencana-Nya yang jauh lebih indah dari pada rencanaku.

Pelajaran itu sangat berharga dan tak semua orang akan menyadarinya. Aku sadar betul akan hal itu. Jadi, ketika Tuhan menghancurkan rencana indahku lagi, aku tahu harus bagaimana. Aku cukup bertanya pada diri sendiri, berdiskusi dengan Tuhan melalui doa, dan menikmati takdir ini bersama semesta. Percaya atau tidak, ketika kita menerima takdir Tuhan dengan ikhlas, maka semesta seperti berpihak kepada kita. Percayalah.
Kini, takdir Tuhan membuatku harus memilih. Aku seperti berada di percabangan jalan. Satu jalan menuju ke arah rencana yang sudah kususun dengan indah, sedangkan jalan lainnya adalah rencana Tuhan yang aku yakin tak kalah indahnya, bahkan jauh lebih indah. Bila aku adalah malaikat, tentu tanpa ragu aku akan memilih takdir Tuhan, meskipun harus mengorbankan banyak hal. Namun, aku hanya manusia biasa yang tak luput dari keraguan. Aku pun harus berpikir berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan.
Pilihan yang Sulit
Sabtu, 24 Mei 2025.
Saat aku sedang menikmati hari libur bersama istri dan anak, tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terlihat di layar ponsel. Aku mendapat informasi bahwa penempatan CPNS sudah muncul dan aku ditempatkan di Nusa Tenggara Timur. Awalnya aku menjawab pesan tersebut dengan cuek, sebab ada beberapa hal yang membuatku mengira kalau itu adalah penipuan. Namun, setelah melakukan pengecekan yang mendalam, akhirnya aku memastikan bahwa itu bukan penipuan.
Minggu, 25 Mei 2025.
Informasi tentang penempatan kerja yang aku dapatkan membuatku dilema. Di satu sisi, aku memang sudah ingin pindah dari daerah ini. Entah mengapa, aku mulai jengah dengan kemacetan yang harus dihadapi ketika menempuh perjalanan Bekasi – Jakarta untuk sampai di tempat kerja. Namun, di sisi lain, penempatan yang cukup jauh membuatku harus mempertimbangkan banyak hal. Aku harus memikirkan tempat tinggal di sana, biaya perjalanan, apa saja yang perlu dipersiapkan, hingga mempertimbangkan perasaan istri dan anak yang akan ditinggal jauh secara mendadak. Terus terang, semua itu membuatku bingung.

Aku memiliki waktu terbatas, hal ini juga yang membuatku sulit untuk memutuskan. Bayangkan, aku hanya punya waktu tiga hari (26-28 Mei 2028) untuk registrasi ulang bila aku mengambil kesempatan ini. Itu artinya aku harus sudah ada di Nusa Tenggara Timur pada hari Rabu pagi (28/05). Perlu diketahui bahwa setelah mengecek jadwal penerbangan, paling lama hari Selasa (27/05) aku sudah berangkat menuju bandara. Jadi, hari Senin (26/05) aku harus mengundurkan diri dari tempat kerjaku saat ini. Dengan kata lain, aku hanya punya waktu sehari untuk berpikir.
Di sinilah perdebatan batinku dimulai. Aku harus benar-benar matang dalam memutuskan. Aku pun harus berdiskusi dengan banyak pihak agar tidak salah dalam melangkah. Istriku adalah orang pertama yang pendapatnya akan sangat aku perhitungkan. Maka dari itu, aku ingin benar-benar memastikan bahwa istriku siap menerima kenyataan ini. Setelah melewati dan mempertimbangkan berbagai hal mulai dari renungan, tangisan, harapan, hingga kesadaran akan takdir Tuhan (beberapa hal tidak bisa aku ceritakan), akhirnya istriku memberi lampu hijau. Setelah itu aku meminta pendapat orang tua, mereka pun memberikan respons yang sama. Akhirnya keputusanku sudah bulat, aku akan mengambil kesempatan ini.
Keputusan Besar
Senin, 26 Mei 2025.
Seperti biasa, pukul 05.30 WIB aku sudah berangkat dari rumah dengan mengendarai sepeda motor menuju Stasiun Metland Telaga Murni. Perjuanganku dalam menuju tempat kerja dimulai dari sini. Aku harus menaiki KRL dari Stasiun Metland Telaga Murni menuju Stasiun Sudirman selama sekitar 1 jam. Jangan tanya seperti apa keadaan KRL Jabodetabek ketika berangkat dan pulang kerja, silakan cari tahu sendiri. Setelah sampai di Stasiun Sudirman, aku lanjut berjalan kaki sekitar 30 menit menuju Gedung Merah Putih, tempatku bekerja. Jika malas berjalan kaki atau kondisi sedang hujan, maka aku akan menaiki LRT dari Stasiun Dukuh Atas yang tersambung dengan Stasiun Sudirman menuju Stasiun Setiabudi yang berada di dekat kantor.
Pagi ini berjalan seperti biasa, hanya satu yang berbeda, yaitu tanganku yang membawa selembar Surat Pengunduran Diri. Setelah jam masuk kerja berbunyi, aku segera menemui atasan untuk membicarakan hal ini. Meskipun sebelumnya atasanku tahu bahwa aku mengikuti tes CPNS, tetapi penyerahan Surat Pengunduran Diri ini sangat mendadak dan mengagetkan. Walaupun begitu, tak butuh waktu lama untuk beliau menyetujui surat tersebut. Beliau sangat mendukungku dan mendoakan aku untuk mendapatkan tempat yang lebih baik. Terus terang, aku sangat menyukai tempat kerja ini. Sebab semua orang di sini sangat baik, mulai dari atasan, senior, hingga rekan kerja. Aku belum menemukan hal-hal toxic dari mereka. Mungkin suatu saat nanti aku akan membuat tulisan khusus tentang tempat kerjaku ini.

Setelah urusan di tempat kerja selesai, aku segera kembali pulang. Aku ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istri di rumah sebelum pergi ke tempat jauh sana. Sesampainya di rumah, aku benar-benar memanfaatkan waktu bersama mereka. Sejujurnya, aku ingin waktu berhenti agar bisa lebih lama menikmati momen ini. Namun, waktu tak pernah pandang bulu terhadap keadaan. Waktu akan terus berputar sesuai tugasnya, hingga akhirnya sore pun datang. Aku membawa anak dan istriku jalan-jalan ke taman dekat perumahan, tempat biasa kami menghabiskan waktu libur. Pasti aku akan merindukan momen-momen seperti ini, di tempat ini.
Malam pun datang, di rumah, istriku tak bisa membendung perasaannya. Banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan. Namun, satu hal yang pasti, aku sempat goyah dengan pilihan yang sudah kuambil. Sempat terpikir untuk melepas pilihan ini, tetapi kenyataan menyadarkanku. Aku tidak bisa mundur. Keputusan besar sudah kuambil dan aku harus siap menerima segala konsekuensinya. Berbagai cara aku lakukan untuk menenangkan situasi, agar semua bisa berjalan dengan baik. Hingga akhirnya, istriku benar-benar ikhlas. Bahkan, ia mengatakan sebuah kalimat yang membuatku terharu “Aku tidak ingin menghalangi impianmu“.
Sebuah Perpisahan
Selasa, 27 Mei 2025.
Pagi ini terasa berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada. Entah mengapa, rasanya aku belum siap bila harus jauh dari anak dan istri. Padahal aku tahu ini hanya perpisahan sementara. Saat tabungan sudah cukup, mereka bisa menyusulku nanti. Namun, aku seperti terjebak dalam perasaan haru. Meskipun demikian, aku tetap harus terlihat kuat dan bahagia agar tidak membebani mereka. Alih-alih bersedih, bukankah lebih baik menikmati waktu yang terbatas ini?
Masih ada waktu untuk melakukan hal bersama mereka karena pesawat yang akan mengantarkanku ke pulau jauh dijadwalkan berangkat nanti malam. Sialnya, pagi hingga siang hari kami harus mengurus beberapa hal di tempat yang cukup jauh. Ya sudah, dari pada disesali lebih baik kami menganggap itu adalah jalan-jalan. Siangnya kami bermain bersama di rumah. Bersenda gurau untuk mengisi persediaan amunisi menghadapi kerinduan yang sebentar lagi harus kami hadapi. Sore hari aku mengajak mereka pergi ke taman dekat perumahan lagi. Mungkin ini adalah kali terakhir kami mengunjungi taman ini bersama. Sebab aku tidak yakin kapan bisa ke sini lagi bersama mereka.

Biarkan aku bercerita sedikit tentang taman ini. Kami biasa pergi ke taman ini ketika aku libur kerja, sabtu-minggu. Hampir setiap pagi dan sore di hari libur, kami mengunjungi taman ini. Terkadang kami juga mengunjungi taman ini di malam hari setelah aku pulang kerja. Taman ini berada di dalam perumahan Metland Cibitung, jaraknya sekitar 6 KM dari rumah. Kami biasa ke taman ini menaiki sepeda motor, sembari jalan-jalan. Banyak kenangan yang kami lakukan di taman ini, bahkan sejak anak kami masih bayi, mulai dari menidurkan anak, anak belajar jalan, makan di tepi danau, dan sebagainya. Sore ini aku sadar, mungkin kami tidak akan ke sini dalam rentang waktu yang sangat lama. Huuhh.
Malam tiba, perpisahan itu semakin mendekat. Meskipun aku masih bermain bersama mereka di kamar ini, tetapi ada gurat kesedihan yang menyelimuti. Bahkan sempat terlintas kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau anakku menangis ketika aku pergi? Apakah aku tetap bisa kuat dan melangkah menjauh? Entahlah. Rasanya sangat sulit membayangkan hal tersebut. Untungnya anakku tertidur sebelum aku berangkat. Akhirnya, setelah berpamitan dengan istriku, aku pun berangkat dari rumah sekitar pukul 21.45 WIB. Aku bisa melihat kesedihan di mata istriku, tetapi ia mencoba tetap tegar. Percayalah, aku melakukan ini demi kebahagiaan kita. Ada harapan yang harus aku kejar untuk mendapat kebahagiaan tersebut. Bersabarlah, sayang.
Pengalaman Pertama
Pukul 22.00 WIB ojek online yang aku tumpangi sampai di stasiun Metland Telaga Murni. Aku pun melanjutkan perjalanan menggunakan KRL. Tujuanku adalah Bandara Soekarno-Hatta. Namun, sebelumnya aku harus menuju Stasiun Batu Ceper terlebih dahulu, lalu lanjut menaiki ojek online menuju bandara. Suasana KRL di malam hari sangat jauh berbeda bila dibandingkan ketika jam berangkat atau pulang kerja. Lengang. Aku pun bisa duduk santai sembari berbalas chat dengan istri. Di Stasiun Duri aku sempat transit, kemudian naik KRL kembali. Hingga akhirnya, pada pukul 24.00 WIB aku sampai di Stasiun Batu Ceper.
Rabu, 28 Mei 2025.
Aku keluar dari Stasiun Batu Ceper untuk mencari ojek online menuju bandara. Meskipun sudah larut malam, tetapi di sini masih banyak ojek online, jadi tidak perlu khawatir. Perjalanan dari sini menuju bandara membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Hingga akhirnya, pada pukul 00.30 WIB aku sampai di bandara. Ini adalah kali kedua aku menyambangi Bandara Soekarno-Hatta. Dulu, saat masih duduk di Sekolah Dasar, aku pernah ke sini untuk menjemput bibi yang pulang dari Arab Saudi. Sekarang aku berada di bandara ini lagi. Namun, bukan untuk menjemput, melainkan menjadi penumpang pesawat.
Aku segera check in karena pesawatku dijadwalkan terbang pada pukul 02.00 WIB. Aku tidak ingin terlambat. Setelah itu aku menuju tempat penitipan barang. Hanya koper yang aku taruh di bagasi, sedangkan ransel tetap aku bawa. Pegawai maskapai memberikan beberapa informasi kepadaku, seperti nomor kursi, nomor gate pemberangkatan, dan beberapa informasi keselamatan lainnya. Kemudian aku diarahkan ke ruang tunggu yang ada di lantai dua. Di sini, aku harus menunggu sekitar 1,5 jam sesuai jadwal keberangkatan pesawat. Waktu yang sangat membosankan sekaligus menegangkan. Ya, aku cukup tegang karena ini adalah kali pertama naik pesawat.

Setelah menunggu sekitar 1,5 jam, akhirnya aku dan penumpang lain dipanggil untuk menaiki pesawat. Aku pun bangkit dan mengikuti penumpang lainnya. Aku melewati beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan barang, tubuh, dan tiket. Kemudian melewati lorong yang cukup panjang, hingga akhirnya sampailah aku di pintu pesawat. Aku pun masuk ke dalam pesawat, lalu mencari tempat duduk sesuai tiket. Kali ini aku belum beruntung karena tidak mendapat tempat duduk di dekat jendela. Meskipun demikian, aku masih bisa melihat ke luar jendela dengan sedikit menegakkan tubuh. Setelah melakukan beberapa protokol keselamatan, akhirnya pesawat lepas landas. Jantungku semakin berdetak kencang.
Aku akan berada di udara sekitar 2 jam lebih. Sungguh, aku begitu tegang dan takut. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan pesawat ini? Aku jadi memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Namun, ketika badai kegelisahan sedang melanda hatiku, aku diperlihatkan pemandangan indah dari luar jendela. Lampu-lampu kota terlihat berkilau dari ketinggian. Menakjubkan. Sejenak hatiku mulai tenang karena melihat pemandangan tersebut. Beberapa saat kemudian kucoba untuk tidur agar tidak terlalu tegang, tetapi tak bisa. Hingga akhirnya, suara pilot pesawat berkumandang. Tak terasa sudah 2 jam 45 menit aku di atas pesawat. Kini aku sudah berada di atas Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebentar lagi pesawat akan mendarat.
Sampai Di Kota Koral
Aku membuka jendela yang entah sejak kapan tertutup. Saat jendela terbuka, aku melihat pemandangan yang sangat mengagumkan. Aku bisa melihat Comulus berdiri dengan gagahnya hingga ke angkasa. Sedangkan di bawah sana, hamparan laut biru dihiasi jajaran pulau-pulau hijau begitu mempesona. Beberapa bagian pulau terlihat lebih tinggi membuat relief-relief yang indah. Namun, dari semua panorama itu, ada satu hal yang paling mencolok, yaitu matahari terbit. Sinar mentari lebih dulu jatuh di atas Comulus yang menutupi beberapa titik daratan. Semburat jingga diangkasa seakan memancarkan kekuatan yang mampu menghilangkan rasa takut. Dan di ufuk timur sana, mentari mulai menunjukkan wajahnya. Sungguh, aku sangat kagum melihat semua ini.

Zona waktu berubah, sekitar pukul 06.00 WITA pesawat berhasil mendarat dengan sempurna. Aku melangkah keluar dari pesawat. Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Salah satu hal bersejarah dalam hidupku. Momen ini juga termasuk pertama kalinya aku meninggalkan Pulau Jawa dan menempuh jarak paling jauh dari rumah. Sesampainya di Bandara Eltari, Kupang, aku segera menuju tempat pengambilan koper. Aku tidak ingin membuang-buang waktu, sebab registrasi dijadwalkan pada pukul 09.00 WITA. Masih ada waktu sekitar 3 jam bagiku untuk mempersiapkan semuanya.
Setelah mengambil koper, aku bergegas menuju lobi bandara. Sebenarnya di sini aku bisa menaiki taksi atau ojek online, tetapi kedua moda transportasi umum tersebut harganya mahal. Akhirnya aku pun memutuskan untuk keluar dari bandara terlebih dahulu. Siapa tahu harga ojek online di luar bandara bisa lebih murah atau syukur-syukur aku bisa menemukan angkot. Akhirnya aku pun menyeret koper sampai keluar bandara. Ternyata jalanan di depan bandara cukup sepi, tidak ada angkutan umum di sini. Aku kembali mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online, tetapi percuma, harganya masih mahal karena aku masih di wilayah bandara.

Sinar mentari mulai menghujam tubuh. Demi mempersingkat waktu, aku segera berjalan menjauhi bandara. Aku berniat memesan ojek online lagi ketika sudah cukup jauh dari bandara atau mencari angkot di depan sana. Kondisi di sekelilingku dipenuhi pepohonan kering. Entah pohon apa itu tetapi batang dan daunnya menguning seperti Pohon Jati. Cukup melelahkan menyusuri jalanan seperti ini, apa lagi harus menyeret koper. Namun, akhirnya semesta berbicara. Aku mendapat pertolongan yang tak terduga. Tiba-tiba saja sebuah mobil hitam menepi di sampingku. Kacanya terbuka dan seorang bapak berbaju loreng di belakang kemudi menyapa, lantas menawarkan tumpangan kepadaku. Tak pikir panjang, aku pun langsung menerimanya tawarannya.
Di dalam mobil, kami bercengkerama. Ternyata pengemudi mobil ini adalah seorang tentara berpangkat perwira. Awalnya beliau ingin mengantarkanku di jalan depan yang terdapat angkutan umum, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengantarkanku sampai tujuan. Sebenarnya aku merasa tidak enak, tetapi mengingat waktu yang mulai menipis, akhirnya aku menerima pertolongan darinya. Sungguh, beliau adalah orang yang sangat baik. Bahkan setelah mengetahui aku berasal dari tempat yang jauh, beliau memberikan tawaran untuk menginap di rumahnya terlebih dahulu hingga aku mendapatkan kontrakan. Kebaikan beliau tidak berhenti sampai di situ. Setelah sampai di tujuan, beliau memberikan nomor teleponnya. Katanya, aku bisa menghubunginya bila mengalami masalah di daerah ini. Terima kasih Pak Perwira.
Tempat Tujuan
Sekitar pukul 07.00 WITA aku sampai di tempat registrasi. Masih ada waktu sekitar dua jam sebelum registrasi dibuka. Kondisi kantor masih sepi, hanya ada satpam yang menjaga pos. Aku di sambut baik oleh dua orang satpam yang saat itu sedang berjaga. Mereka mempersilakan aku untuk duduk dan mengajakku mengobrol. Obrolan ringan seperti menanyakan asal, ditempatkan di mana, dan sebagainya. Selain aku, ternyata masih ada beberapa CPNS yang baru bisa registrasi hari ini. Sekitar setengah jam kami mengobrol, aku meminta ijin untuk menggunakan kamar mandi yang ada di pos satpam. Aku ingin mandi. Jujur, ini adalah pengalaman yang sangat berkesan bagiku.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian yang semestinya, aku kembali bergabung dengan beberapa CPNS lain yang sudah datang. Ternyata di instansi ini ada dua orang lain yang berasal dari Jawa. Satu orang dari Bogor dan satu lagi dari Pemalang. Musabab mereka dari Jawa, aku merasa tidak sendirian. Ada teman senasib. Kami terlibat percakapan seru hingga tak terasa waktu berlalu. Perlahan para pegawai mulai berdatangan. Registrasi pun dibuka sekitar pukul 09.00 WITA. Hanya ada beberapa orang saja yang baru bisa registrasi hari ini.
Aku dan beberapa CPNS lainnya diarahkan untuk menaiki gedung. Registrasi dilakukan di aula lantai dua. Di aula tersebut kami duduk di kursi sembari menunggu panitia mempersiapkan segalanya. Kami pun dipanggil satu persatu untuk melakukan registrasi. Salah satu panitia bertanya kepada kami, “siapa yang pertama datang?“. Aku tidak terlalu mendengar pertanyaan itu, tetapi semua peserta melihatku. Aku pun berdiri. Panitia tersebut kembali bertanya kepadaku, “kamu yang pertama datang?” Sekali lagi, musabab kondisi badan yang kurang prima karena belum tidur dari kemarin, membuatku tidak fokus dengan pertanyaan panitia. Aku pun bergeming. Hingga akhirnya panitia tersebut berteriak kepadaku, “Mas, kalau ditanya jawab!“. Ini adalah pengalaman pertamaku dibentak seseorang di Kota Kupang. Namun, dikemudian hari aku tahu bahwa panitia tersebut adalah orang yang sangat baik, suaranya saja yang keras.

Registrasi selesai. Beberapa CPNS mulai pulang, berbeda denganku yang kebingungan. Bagaimana tidak, di sini aku tidak mengenal siapa pun, tidak mengerti kondisi kota, tidak tahu mau kemana. Aku pun memutuskan untuk sejenak berpikir di pos satpam. Beruntung, selama registrasi tadi aku mendapat teman baru, termasuk dua orang dari Jawa. Teman dari Pemalang menawarkan aku untuk ikut ke kontrakannya, katanya di sana ada kontrakan kosong. Awalnya aku ingin pergi ke sana, tetapi dengan beberapa pertimbangan, aku mengurungkannya. Pikirku, nanti aku cari kontrakan sendiri di sekitar sini yang lebih cocok. Akhirnya semua CPNS sudah pulang, hanya aku sendiri di pos satpam sendirian.
Semesta kembali menjalankan perannya. Di pos satpam ini aku bertemu dua orang yang sangat baik. Salah satu orang tersebut adalah satpam di situ dan satu lagi adalah pegawai instansi. Mereka berdua membantuku dengan bertanya ke sana-sini agar aku bisa segera mendapat kontrakan. Bahkan, salah satu satpam menawarkan bantuan untuk mencari kontrakan secara langsung. “Nanti jam satu siang saya pulang, kita cari kontrakan bareng” Katanya. Benar saja, sekitar pukul 13.00 WITA, ia mengantarkanku mencari kontrakan yang cocok. Saat itu aku dibonceng menaiki motornya. Cukup lama kami mencari kontrakan karena aku ingin kontrakan tersebut nantinya bisa ditempati oleh keluarga kecilku. Hingga akhirnya, setelah beberapa lama mencari, kami menemukan kontrakan yang cocok.
Tinggal Di Kupang
Pukul 17.00 WITA. Aku sudah menempati kontrakan yang mungkin akan menjadi rumahku dalam beberapa waktu ke depan. Kontrakan ini tidak terlalu luas, tetapi cukuplah untuk aku dan keluargaku tinggal. Ada beberapa ruangan di kontrakan ini, yaitu ruang tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan tempat menjemur. Selain itu, aku juga mendapatkan beberapa fasilitas seperti kasur, lemari, AC, dan kulkas. Kontrakan ini sudah termasuk air tetapi untuk biaya listrik, aku harus membayarnya sendiri. Lokasi kontrakan ini juga cukup strategis, masuk ke gang tetapi tidak terlalu jauh dari jalan raya. Jarak antara kontrakan dengan kantor juga tidak terlalu jauh, sekitar 1,5 KM sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, bila terjadi kondisi tertentu aku bisa menaiki angkutan umum, karena terdapat angkot yang melewati jalan ini hingga ke tempat kerjaku.

Senja datang, biasanya aku akan menikmatinya. Melihat langit jingga dan gugusan awan yang indah atau menyaksikan burung-burung yang kembali ke sarangnya. Namun, itu tidak berlaku untuk hari ini. Senja kali ini seperti diselimuti sendu. Rasanya baru kemarin aku bermain bersama dengan anak istri, tetapi sekarang sudah terpisah jarak yang sangat jauh. Senja seakan membawa rindu yang sangat besar, hingga aku tak bisa membendungnya. Bahkan angin kencang yang menerpa tubuh tak bisa melawan rasa rindu yang teramat besar. Beruntung karena masih ada harapan yang membuatku tetap kuat berdiri sendiri di sini.
Malam pun tiba. Gemuruh angin di luar terdengar cukup besar. Suara kendaraan menghiasi jalan. Teriakan anak-anak beradu dengan speaker yang mengalunkan lagu remix dengan kencang. Sebenarnya tak terlalu sunyi di sini, tetapi hati terasa hampa tanpa kehadiran anak dan istri. Saat beban kerinduan terasa semakin berat, tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya dan terlihatlah dua wanita cantik di layar. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Aku merasa semua beban, sendu, dan kesedihan, sirna begitu saja. Meskipun hanya bisa merasakan kebersamaan dengan anak dan istri melalui virtual, tetapi itu cukup untuk menguatkan. Aku seperti mendapat angin segar dan tenaga baru untuk menghadapi kehidupan. Aku siap!
Culture Shock
Kamis, 29 Mei 2025.
Aku terbangun karena mendengar suara speaker dengan kencang. Awalnya aku mengira kalau itu adalah suara dari rumah orang yang sedang hajatan. Namun, setelah melihat jam, aku sangat terkejut. Waktu menunjukkan pukul 03.00 WITA. Sepertinya tidak mungkin ada orang hajatan yang memutar musik hingga dini hari. Lalu, suara musik dari mana itu? Apakah sedang ada acara tertentu yang tidak aku ketahui? Aneh. Tak biasanya ada orang yang memutar musik hingga dini hari seperti ini. Kalau pun ada orang hajatan, biasanya maksimal hanya sampai tengah malam saja. Ini sampai pagi. Ckckckck mantap!
Pagi harinya aku mendapat info dari senior mengenai perlengkapan yang harus dibawa ketika berangkat kerja nanti. Musabab belum mengetahui daerah ini, aku pun diarahkan untuk mencari perlengkapan itu di toko terdekat. Seniorku memberikan titik koordinat toko tersebut, yang ternyata berada tak jauh dari pesisir pantai. Seperti mendapat angin segar, aku tersenyum melihat fakta tersebut. Aku bisa sekalian menyambangi pantai terdekat untuk mencari keindahan dan kedamaian. Mungkin bila aku melihat keindahan alam, bisa sejenak mengobati sendu. Perjalananku mengunjungi pantai ini bisa dibaca pada artikel Mengobati Sendu dengan Menikmati Senja Di Pantai Paradiso – Kota Kupang.
Jumat, 30 Mei 2025.
Aku mulai keluar kontrakan sekitar pukul 10.00 WITA untuk mencari makan sekaligus mencari masjid terdekat. Hal yang membuatku kaget selain suara speaker yang kencang sampai dini hari (semalam terdengar lagi) adalah tidak terdengar adzan di daerah sini, jarang ada masjid. Maklum, mayoritas penduduk di sini beragama Kristen. Setelah beberapa kali berkeliling sembari mencari makan, aku tidak menemukan masjid. Akhirnya aku pun memutuskan kembali karena perut sudah meminta haknya. Nanti saja cari lewat google maps, pikirku.

Setelah selesai makan, aku mencari masjid terdekat melalui google maps. Beruntung, ternyata jarak masjid tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter saja. Menurut perkiraanku, jarak tersebut bisa ditempuh sekitar 15 menit berjalan kaki. Musabab sholat jumat masih sekitar 1 jam lagi, aku memutuskan untuk tidur sejenak. Sial, aku kebablasan. Sekitar pukul 12.00 WITA aku baru bangun. Tak pikir panjang, aku segera mempersiapkan diri untuk pergi ke masjid. Cuaca cukup panas dan aku harus berjalan cepat agar tidak terlambat. Di sinilah semesta kembali berbicara. Di saat aku sedang berjalan cepat, tiba-tiba sebuah motor berhenti. Seorang bapak-bapak dengan busana muslim mengajak aku pergi ke masjid bersamanya. Terima kasih, Tuhan.
Malam tiba, setelah puas bercengkerama dengan anak istri melalui panggilan video, aku memutuskan untuk membeli makan. Aku sangat ingin makan nasi goreng. Sepertinya mudah saja mencari nasi goreng di tengah kota ini. Namun, dugaanku salah. Di daerah ini memang ada beberapa penjual nasi goreng, tetapi semuanya menjual nasi goreng babi. Alhasil, aku mengurungkan niat. Tentu aku harus berhati-hati dalam memilih makanan. Maka dari itu, aku selalu bertanya terlebih dahulu kepada penjual: “Apakah ini halal?“. Itu adalah pertanyaan wajib sebelum aku membeli makanan di sini.
Antara Dilema dan Rasa Rindu
Sabtu, 31 Mei 2025
Masih ada waktu dua hari sebelum aku menjalani rutinitas kerja. Waktu ini akan aku gunakan untuk beristirahat dan menyembuhkan kakiku yang melepuh karena sebelumnya melakukan perjalanan jauh. Aku pun hanya bisa diam di kontrakan, merenungi apa yang sedang terjadi. Sudah empat hari aku di Kota Kupang, tetapi rasa itu tetap sama. Rasa rindu yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Di samping itu, aku juga seperti terjebak dalam sebuah pusaran yang tiada henti. Pusaran yang terus membuatku berjalan di tempat. Di satu sisi aku ingin fokus melangkah ke depan tanpa harus menengok ke belakang. Namun, di sisi lain ada sesuatu yang tak bisa aku abaikan di belakang sana. Sesuatu yang disebut kenangan. Sungguh, ini membuatku dilema.
Aku memang memiliki keinginan untuk pindah dari Bekasi dan sekitarnya. Sebab aku sudah jengah dengan segala hiruk pikuk di sana. Aku ingin pergi meninggalkan rutinitas yang selalu berhadapan dengan kemacetan, desak-desakan, dan segala kerasnya ibu kota. Aku ingin pindah ke tempat yang lebih damai, pedesaan, tidak ada macet-macetan, tidak ada desak-desakan. Kupang memang memenuhi kriteria itu. Meskipun di sini ibu kota provinsi, tetapi suasananya sangat jauh berbeda dengan Bekasi dan sekitarnya. Namun, ada sesuatu yang tertinggal di sana, yaitu rumah. Di Bekasi, aku memiliki rumah yang menyimpan banyak kenangan.

Banyak kenangan yang tercipta di rumah itu, mulai dari tinggal bersama istri, kelahiran anak, dan momen-momen tertentu yang rasanya sulit untuk dilupakan. Sekali lagi, aku memang ingin pindah rumah, meninggalkan daerah itu, tetapi tidak sejauh ini hingga berbeda pulau. Kalau pun harus pindah, aku ingin pindah ke tempat yang dekat-dekat dulu seperti Bandung atau Jogja. Di mana aku masih bisa menjangkau rumah di Bekasi dengan mudah. Bukan karena aku tidak ingin tinggal di Kota Kupang, bukan. Aku sangat menyukai kota ini. Mungkin aku hanya belum siap. Sepertinya ini sangat ekstrim untuk dilalui, sehingga aku terus merasakan dilema ini sepanjang hari, sampai tak terasa malam datang. Aku pun terlelap dengan rasa gelisah yang entah kapan akan berakhir.
Minggu, 1 Juni 2025
Hari telah berganti dan aku masih merasakan kegelisahan yang sama. Selain dilema yang menjebakku dalam pusaran tiada henti, ada satu hal lagi yang mengganjal di dalam hati. Rasa rindu yang teramat dalam. Orang-orang yang aku cinta masih tertinggal di sana. Musabab datang dengan segala keterbatasan, aku masih belum bisa membawa mereka menyusul ke sini. Hal ini juga yang membuatku berat untuk melangkah. Aku bagaikan tiang tanpa penyangga yang ditiup angin kencang. Mudah goyah, rapuh. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi? Apa yang sedang kurasakan? Serta bagaimana caranya aku mengatasi perasaan seperti ini?
Hari-hariku seperti dipenuhi dengan dua hal, dilema dan rindu yang dalam. Dua hal itu bagaikan tirai hitam yang menghalangi langkahku. Aku pun hanya diam di tempat. Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari satu hal: cepat atau lambat, tirai itu pasti akan tersingkap. Dan ketika itu terjadi, di balik tirai itu akan kutemukan sebuah harapan besar. Harapan yang menjadi alasan bagiku bisa melangkah hingga sejauh ini. Bersama harapan itu, aku yakin mampu menghadapi kenyataan hidup. Apa lagi bila anak dan istri sudah menyusul di sini, bersamaku menghadapi semua ini. Tentu aku akan mendapat tenaga besar yang akan mengalahkan segala rintangan. Aku hanya perlu menunggu hingga waktu itu tiba.
Memantapkan Diri
Pekan 1, Juni 2025.
Hari ini aku mulai beraktivitas, tetapi bukan untuk bekerja, melainkan untuk menjalani masa orientasi. Tempat orientasi cukup jauh dari kontrakan, maka dari itu aku ikut nebeng dengan seorang teman yang kukenal ketika registrasi. Beruntung karena dia bersedia memboncengku. Namun, untuk sampai ke rumah temanku, aku harus menempuh perjalanan kurang lebih sekitar 2 KM. Jadi dari rumahnya itu lah aku ikut bonceng sampai ke tempat orientasi. Sedangkan kalau pulang, aku diantar sampai kontrakan oleh temanku ini. Sebenarnya aku ingin memberikan ia uang bensin setiap kali mengantarku tetapi terkadang ia menolak, katanya, sesekali saja jangan keseringan. Pertolongan dari temanku membuat aku jadi lebih hemat biaya.

Masa orientasi dilaksanakan sekitar satu minggu. Selama itu, kami diberikan pemahaman tentang instansi yang akan kami tempati nanti melalui narasumber yang ahli di bidangnya. Aku pun mengikutinya dengan semangat. Sebab menurutku ini adalah pengalaman yang sangat berharga. Selain materi, kami juga diajarkan Latihan Keterampilan Baris Berbaris (LKBB). LKBB ini dilakukan selama dua hari. Meskipun melelahkan, tetapi aku sangat senang bisa berlatih secara langsung di bawah senior-senior yang berpengalaman. Apa lagi di situ aku diajarkan tentang arti kedisiplinan, kekompakan, rasa hormat, dan menghargai perjuangan. Jujur, pengalaman itu sangat berkesan bagiku.
Tepat setelah penutupan masa orientasi, suara takbir berkumandang. Besok adalah hari Raya Idul Adha. Malam takbiran kali ini sangat jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya. Ada perasaan sendu yang menyelimuti. Biasanya, di malam takbiran seperti ini aku sedang berkumpul dengan anak dan istri. Menikmati kumandang takbir. Namun, kini kami terhalang jarak ribuan Kilometer jauhnya. Bahkan keesokan harinya, kami melaksanakan Sholat Idul Adha dengan jarak yang sama. Sedih. Aku pun menuju masjid dengan lunglai. Terlebih sesampainya di masjid, aku dikejutkan dengan suasana yang sepi. Di sini tidak ada orang yang Sholat Idul Adha? Aku pun memutuskan untuk kembali ke kontrakan, sebelum akhirnya seorang pemuda yang mengendarai sepeda motor berhenti di sampingku. Pemuda tersebut hendak pergi ke tempat Sholat Idul Adha dan mengajakku ikut bonceng. Syukurlah. Ternyata lokasi Sholat Idul Adha dipindahkan di Korem. Entah apa alasannya.

Pekan 2, Juni 2025.
Semua CPNS sudah dikirim ke tempat kerjanya masing-masing. Aku pun demikian. Kini aku sudah mulai berangkat ke kantor. Aku memang belum mendapatkan posisi dan penempatan yang pasti, tetapi aku tidak ingin berleha-leha. Hari pertama kerja, aku mencoba berinisiatif untuk mempelajari berbagai hal tentang infrastruktur IT di kantor ini, mulai dari server, jaringan, aplikasi, dan perangkat kerasnya. Aku benar-benar ingin menguasai pekerjaanku. Selain itu, aku juga tetap menjaga komunikasi dengan atasan dan rekan kerja agar terjadi hubungan yang harmonis.
Pekan 3, Juni 2025.
Isi dompet mulai menipis, aku pun harus pandai-pandai menghemat uang. Aku coba membiasakan diri untuk makan sekali dalam sehari, hitung-hitung diet. Selain itu, aku juga lebih selektif dalam membeli makanan. Makanan yang aku beli, terbilang sederhana, bahkan aku pernah beberapa hari makan nasi dengan lauk sambal dan kerupuk saja. Leluhurku menyebut ini sebagai “merih”. Meskipun demikian, aku tidak mengabaikan kesehatan. Sebab ketika merasa sudah diambang batas, aku tidak akan memaksakan diri. Aku melakukan ini agar tabunganku segera terkumpul sehingga anak dan istri bisa cepat menyusul ke sini.

Pekan 4, Juni 2025.
Keseharianku mulai menemukan keteraturan. Di tempat kerja aku selalu bekerja dengan serius dan berusaha mempelajari semua hal yang akan menjadi tanggung jawabku. Hubunganku dengan atasan dan rekan kerja juga sangat baik. Aku pun masih berhemat agar bisa cepat membawa anak dan istri ke sini. Sedikit lagi tabunganku cukup sehingga mereka bisa segera menyusul. Setiap hari aku pasti melakukan panggilan video dengan mereka. Lumayan, bisa mengobati rindu. Sedangkan pusaran dilema yang aku alami, kini mulai menghilang. Pusarannya masih ada tetapi tak sebesar dulu. Aku mulai mengerti, kuncinya adalah ikhlas dan percaya. Percaya kepada Tuhan Sang Maha Tahu.
Sebuah Alasan
Sabtu, 28 Juni 2025.
Sebulan telah berlalu. Perlu diketahui bahwa semua kegelisahan itu masih aku rasakan, tetapi sekarang aku mulai bisa berteman dengannya. Aku mulai bisa menerima dengan ikhlas takdir Tuhan, bahkan menikmatinya. Kini, aku hanya perlu membiarkan waktu yang berbicara. Aku yakin waktu pasti akan membuktikan bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencana apa pun di dunia ini. Dan ketika aku merasa rapuh, aku hanya perlu mengingat sebuah alasan yang membuatku bisa melangkah hingga sejauh ini. Alasan itu adalah Harapan. Ada harapan besar tentang kehidupan yang lebih baik di depan sana. Aku yakin bisa menggapai harapan itu untuk orang-orang yang aku cinta.
