Menjalani rutinitas sebagai seorang pekerja membuatku tidak memiliki banyak waktu. Semua pasti tahu bagaimana siklus harian para pekerja seperti diriku: bangun pagi, berangkat kerja, pulang petang, tidur, begitu seterusnya. Sedangkan waktu libur di akhir pekan, digunakan untuk beristirahat, berhenti sejenak dari rutinitas kerja yang melelahkan. Siklus tersebut terus kulakukan berulang-ulang, bertahun-tahun. Sehingga membuatku tidak memiliki banyak waktu untuk memenuhi hasrat dan keinginanku sendiri. Jangankan waktu untuk bercengkerama dengan semesta, memiliki waktu untuk berdiskusi dengan diri sendiri saja sangat sulit kudapat. Padahal aku membutuhkan banyak waktu untuk mengobati kerinduan yang selama ini terpendam, dua kerinduan lebih tepatnya. Satu, rindu ingin mengunjungi keindahan semesta: gunung, laut, air terjun, pantai. Dua, rindu ingin kembali menginjakkan kaki di tanah Parahyangan, Bandung, sebuah daerah di atas pegunungan yang menyimpan berbagai kenangan indah di dalamnya. Bertahun-tahun sudah kupendam dua kerinduan itu, hingga tanpa diduga, dengan keterbatasan waktu yang ada, semesta mengijinkan aku untuk mengobati dua kerinduan tersebut dalam satu waktu.
Bandung dan Semesta
Memendam kerinduan yang mendalam untuk waktu yang sangat lama bukanlah hal yang mudah. Sebab, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan ketika kita berada di posisi tersebut. Pertama, terus berusaha untuk mengobati kerinduan itu, tanpa lelah. Kedua, bersabar dengan waktu dan kondisi yang terkadang tidak memihak kita. Kedua hal inilah yang selama ini aku jaga agar kerinduan terhadap Bandung dan Semesta tak pernah padam. Ya, aku rindu Bandung, aku rindu Semesta.
Entah sudah berapa lama aku berpisah dengan Kota Kembang. Terlalu lama, hingga aku tak bisa mengingatnya. Mungkin sekitar lima atau enam tahun lalu? Entahlah. Namun, yang jelas, selama itu pula aku merindukannya. Terlebih, aku juga merindukan Semesta, alam raya yang selalu memberikan ketenangan dan keindahan. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengannya. Hey, Bandung dan Semesta, apa kabarmu?
Mengingat rutinitas yang kujalani, rasanya sangat sulit untuk mengobati rindu terhadap Bandung dan Semesta dalam waktu dekat ini. Aku tahu betul hal itu. Aku seperti terjebak di dalam sistem yang merangkeng setiap pergerakan. Tak bisa bebas. Namun, aku juga tidak bisa keluar dari sistem tersebut, kendati pintunya terbuka lebar. Aku terlalu pengecut, takut dengan apa yang ada di luar sistem ini. Takut tak bisa bertahan hidup. Hingga sampailah aku pada suatu titik, dimana aku bisa ikhlas untuk menjalani rutinitas seperti sekarang.
Di dalam ekosistem yang membelenggu, keyakinan adalah satu-satunya hal yang bisa dijadikan pegangan. Sebab dengan keyakinan tersebut, manusia memiliki harapan. Harapan akan membuat manusia lebih hidup, lebih bermakna dalam menjalani kehidupan. Pun menjadi gerbang antara kenyataan dan kemustahilan. Maka dari itu, selayaknya kita tetap yakin dengan tujuan hidup yang sudah direncanakan, sekalipun orang-orang berkata itu mustahil. Sebab gerbang antara kenyataan dan kemustahilan akan tetap terbuka selama kita masih memiliki keyakinan. Aku sudah membuktikannya.
Di tengah kemelut pekerjaan yang padat, di antara ada dan tiadanya isi dompet yang rapat, di dalam kerangkeng rutinitas yang membelenggu dengan erat. Sudah tak ada harapan lagi bagiku untuk bertemu dengan Semesta dan Bandung. Aku sudah pasrah, mungkin aku memang tidak bisa bertemu dengan mereka dalam waktu dekat ini.
Secercah Harapan
Di dunia ini ada banyak keberhasilan dan kegagalan yang justru tidak tertulis dalam sebuah rencana. Bagaimana bisa? Di situlah semesta bekerja. Semesta bagaikan kaki dan tangan Sang Maha Segalanya, yang mampu menjungkirbalikkan keadaan hanya sekejap mata. Membuat sebuah rencana yang sudah disusun dengan matang, gagal begitu saja. Bisa juga membuat sebuah keberhasilan dan kebahagiaan dari jalan buntu yang sudah menemui titik pasrah. Terkadang, kenyataan memang sulit ditebak.
Aku yang mulai pasrah dengan rutinitas, tenggelam dalam siklus keseharian, terkurung di ruang pengap sistem kehidupan, tiba-tiba mendapat angin segar dari ventilasi kecil bernama takdir. Jariku yang menari di atas keyboard dan mata fokus yang menatap layar kerja, seketika terdiam mendengar informasi yang datang. Ternyata di tempatku bekerja akan diadakan Rapat Kerja (Raker) tahunan. Raker akan dilakukan di luar kantor, di tempat-tempat yang ‘menarik’. Awalnya aku tak terlalu peduli karena malas bila harus naik mobil untuk menuju tempat Raker (mabuk darat). Namun, ketika aku mendengar Kota Bandung sebagai tujuan Raker, sontak tubuhku langsung antusias.
Bandung?
Pikiranku langsung menerawang jauh, mengingat kembali kota penuh kenangan itu. Hingga akhirnya, aku tiba di suatu titik. Masih dalam pikiranku. Braga. Kini aku ingat tempat terakhir yang aku kunjungi ketika di Bandung, enam tahun silam. Sebuah jalan yang cukup ramai, tetapi tetap syahdu dengan keunikannya. Malam itu di jalan Braga, aku larut dalam alunan musik klasik yang berasal dari sebuah kafe. Hingga menjelang tengah malam, aku baru melangkah pergi. Sejak saat itu, aku tak pernah bertemu lagi dengan keunikan Kota Bandung secara langsung.
Kini, secercah harapan datang di waktu dan dengan cara yang tak terduga. Aku akan bertemu kembali dengan Bandung.
Sebuah Pertemuan
Mentari belum menampakkan wajahnya, tetapi aku sudah berada di dalam gerbong besi menuju tempat kerja. Tak biasa. Sebab aku harus datang tepat waktu agar tidak ketinggalan bus yang akan membawaku bertemu dengan Kota Bandung.
Perjalanan dimulai pukul 06.00 WIB dengan iring-iringan 4 bus. Tak banyak hal yang bisa kuceritakan selama perjalanan. Sebab waktu perjalanan sekitar 3 jam banyak kuhabiskan untuk tidur. Ini adalah pilihan terbaik karena selain untuk mencegah aku mengalami mabuk darat, tidur juga akan membuat waktu perjalanan terasa semakin cepat. Sehingga pertemuan itu bisa segera terjadi.
Mataku terbuka ketika melewati hamparan persawahan yang luas dan dibatasi oleh deretan pegunungan. Di mana ini? Apakah aku sudah sampai di Bandung? Entahlah, aku tak tahu. Mataku kembali tertutup. Rasa kantuk begitu ganas menyerang. Itu pasti karena efek obat anti mabuk yang kuminum sebelum perjalanan tadi. Hingga akhirnya, suara-suara orang yang turun dari bus membangunkanku. Sampai. Selamat datang di Bandung.
Udara lembab menerpa tubuh tatkala aku turun dari bus, sejuk, kemudian berlalu bersama dengan angin yang berhembus. Berbagai ungkapan bahagia terlontar di dalam hati, tanpa bersuara aku tertawa. Senang, jelas. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa berjumpa kembali dengan Bandung. Seluruh komponen semesta seperti menyambutku: pegunungan tinggi menjulang yang melambai-lambai, aliran sungai tenang berseru, dan awan-awan terbang kegirangan. Aku seperti bertemu dengan teman masa kecil yang sudah lama jauh. Terima kasih Tuhan, sudah memberikan jalan takdir indah agar aku, Semesta, dan Bandung bisa berjumpa di sini, di Driam Riverside Resort. Selama 3 hari 2 malam aku akan berada di sini bersama Semesta dan Bandung, cukup untuk mengobati rasa rindu yang lama terpendam.
Jadwal hari pertama sangat padat, diisi dengan rapat hingga malam tiba. Tak banyak waktu bagiku untuk bercengkerama dengan Semesta. Keesokan harinya, sebelum jadwal di mulai, sebelum teman-teman bangun dari tempat tidur yang nyaman, aku sudah bersiap. Bersiap untuk menghirup udara Bandung yang menyegarkan, bersiap untuk bercengkerama dengan Semesta. Langit masih kelabu, tetapi aku sudah berada di tepian sungai yang suara alirannya begitu menenangkan. Di seberang sungai terdapat pegunungan yang dihiasi berbagai tanaman berwarna hijau. Sungguh, sudah lama aku tidak merasakan khidmat seperti ini.
Waktu begitu cepat berlalu ketika kita menikmatinya. Tak terasa, waktu sudah mulai memasuki jadwal acara. Jadwal pertama, sarapan. Aku pun segera meninggalkan ketenangan di tepi sungai dan bergabung dengan teman-teman yang lain untuk menyantap hidangan.
Beruntung, di hari kedua ini acara tak sekaku kemarin. Bisa dibilang kalau hari ini adalah hari untuk menyegarkan pikiran. Sebab, selain diisi dengan kegiatan menyenangkan, jadwal hari ini juga tidak terlalu padat. Jadwal di pagi hari adalah Team Building, permainan kelompok. Sangat seru dan menyenangkan! Terlebih hal tersebut dilakukan di tempat yang sangat istimewa, Bandung, serta dikelilingi dengan keindahan Semesta.
Siang hari, setelah Sholat Dzuhur dan makan siang, kami melanjutkan jadwal acara, Rafting, menyusuri sungai dengan sebuah pelampung dari ban. Awalnya aku takut karena tidak bisa berenang. Apalagi setelah pemandu menginformasikan bahwa kedalaman sungai mencapai 5 meter, keberanianku sempat ciut. Namun, rasa takut itu akhirnya terkalahkan dengan rasa penasaran. Bayangkan saja, menyusuri sungai dengan deretan pegunungan di sepanjang perjalanan? Siapa yang tidak tertarik? Ini adalah keputusan yang tepat. Sebab di sepanjang sungai, rasa takut itu sirna, tergantikan dengan rasa gembira. Menyenangkan!
Sore hari kami sudah sampai di penginapan. Acara selanjutnya akan dilakukan nanti malam, sehingga aku memiliki cukup waktu untuk kembali bercengkerama dengan Semesta. Terlebih suasana di luar cukup sepi karena banyak teman yang kelelahan setelah rafting. Hal tersebut membuatku bisa leluasa ke sana ke mari mencari tempat yang tenang. Tepi sungai. Aku duduk di dekat batu besar yang memperkuat suara aliran sungai ketika air menerpanya. Sesekali angin bertiup pelan membuat pepohonan bergoyang dan menimbulkan bunyi dari dedaunan yang bergesekkan. Tenang dan syahdu. Aku pun terlibat perbincangan menarik dengan Semesta di Tanah Parahyangan ini. Jika seseorang melihatku, aku yakin ia akan mengira bahwa aku sedang melamun. Padahal tidak demikian. Aku sedang berdiskusi dengan Semesta, Alam Raya yang selama ini kurindukan.
Tak terasa mentari mulai bersembunyi di balik pegunungan, langit temaram. Aku pun kembali ke kamar untuk persiapan acara nanti malam. Sejujurnya aku masih ingin berdiskusi dengan Semesta dan Bandung, tetapi waktu tidak mengijinkannya.Yah, apa boleh buat. Meskipun demikian, aku masih berharap bisa mencuri waktu di sela-sela acara untuk sekadar menikmati keindahan alam Tanah Parahyangan di malam hari. Apalagi malam nanti acara hanya diisi dengan hiburan-hiburan, aku pasti bisa mencuri waktu.
Malam pun tiba. Semua sudah berkumpul di aula. Live musik dari sebuah band mulai menyanyikan lagu-lagi hiburan. Ada yang unik dari acara malam ini. Sebab semua peserta diwajibkan memakai kostum yang sudah ditentukan sesuai grup masing-masing. Ada yang berpakaian koboi, anime, sirkus, kartun, hingga super hero. Nantinya grup dengan kostum terbaik akan mendapatkan hadiah hiburan sebagai apresiasi. Sangat seru! Namun, ada rasa malu juga karena aku harus memakai kostum Uncle Muthu yang ada di dalam kartun Upin dan Ipin. Apalagi satu grup harus berjoget, sangat memalukan sebenarnya. Ya sudahlah, tak perlu banyak diceritakan.
Acara inti sudah selesai sebelum larut malam. Setelah pembagian hadiah, acara selanjutnya menikmati live musik dan menyaksikan teman yang sesekali tampil bernyanyi. Inilah waktu yang tepat bagiku untuk pergi dari aula. Di luar, aku mendekat ke sebuah saung di samping sungai. Hanya ada sedikit lampu remang-remang yang dimakan oleh kegelapan, tetapi menenangkan. Suara aliran sungai seakan menghipnotis jiwa, meninggalkan raga dalam dinginnya malam. Sunyi dan tenang. Aku pun kembali terlibat percakapan menarik dengan Semesta, dan Bandung. Tak lama, tetapi berkesan.
Percakapan kami terhenti ketika tubuhku menggigil. Dinginnya udara malam seakan menembus semua kain yang aku pakai. Merasakan hawa dingin yang begitu menusuk, aku pun kembali ke kamar. Bahkan, di dalam kamar sekali pun udara masih terasa dingin. Untungnya ada selimut tebal yang bisa melindungi. Sambil berbaring di atas kasur, aku mendengar suara-suara malam. Suara yang mampu menghipnotis jiwa agar terus mendengarkannya. Aku hanyut dalam alunan melodi yang diciptakan Semesta. Hingga akhirnya mataku terpejam, terlelap. Hari ini ditutup dengan kesan yang sangat indah.
Keesokan harinya, di pagi buta sebelum yang lain bangun dari tidurnya, aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari penginapan untuk mencari udara segar pegunungan yang tak terdapat di perkotaan, tempatku menetap. Maka dari itu, di hari terakhir ini aku ingin menikmati semua anugerah ini. Sejujurnya aku tak ingin kehilangan momen dengan Semesta dan Bandung, terlebih setelah lama berpisah dan memendam kerinduan yang begitu lama. Namun, apa daya. Aku tak bisa melawan hukum pertemuan. “Pertemuan akan diakhiri oleh perpisahan”
Jadwal hari ini adalah penutupan. Setelah selesai sarapan, kami berkumpul kembali ke aula untuk mengakhiri acara. Sebelum matahari meninggi, acara sudah selesai. Kami manaiki bus untuk kembali ke rutinitas. Berat juga harus berpisah lagi dengan Semesta dan Bandung. Namun, ada perasaan bahagia yang terselip. Aku senang bisa bertemu dengan mereka di tempat ini.
Aku ingin mengucapkan salam perpisahan dalam suasana hening dan penuh rasa, tetapi sangat berat rasanya. Selamat tinggal. Aku berharap bisa bertemu dengan Semesta dan menginjakkan kaki di Tanah Parahyangan ini. Kerinduan selama ini sudah terobati, tetapi pasti akan ada kerinduan-kerinduan lain yang datang menghampiri. Tak pernah habis.
Semesta… Bandung… Selamat tinggal…