Menemukan ‘Cinta’ di kepungan keramaian yang tak seharusnya ada cinta di situ, entah suatu keajaiban atau justru sebuah malapetaka. Sebab, kini ‘Cinta’ itu pergi dari riuhnya suara-suara bising yang mengelilingi. Meskipun aku berharap ‘Cinta’ itu tetap menemani, tetapi keadaan tidak merestui. Aku harus merelakan ‘Cinta’ itu pergi karena kekejaman yang terjadi. Jauh dari lubuk hati, aku ingin bertemu dengan ‘Cinta’ itu lagi. ‘Cinta’ yang tak lekang oleh waktu; ‘Cinta’ yang pernah memberikan warna dalam hidup; ‘Cinta’ yang kutemui disaat hati merasa rapuh.
Awal Kisah
Menjelang bulan Suci Ramadan tahun 2015, aku diajak saudara untuk bekerja pada salah satu perusahaan furniture yang ada di Kawasan Industri Delta Silicon 3, Lippo Cikarang. Kebetulan, saat itu perusahaan tersebut sedang membutuhkan orang untuk mengerjakan proyek pembuatan parsel pada event lebaran. Aku yang memang sedang mencari pekerjaan, langsung menerima ajakan dari saudaraku. Sehingga sehari sebelum bulan Ramadan, aku sudah resmi bekerja.
Demi menghemat pengeluaran, aku ikut mengontrak bersama saudara dan satu teman lainnya. Sehingga dalam satu kontrakan diisi oleh tiga orang. Tak masalah, sebab dengan begitu biaya kontrakan bisa lebih hemat. Kontrakan kami berada di Desa Cicau Kecamatan Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi, tepatnya di samping Kantor Kepala Desa Cicau. Jaraknya sekitar 15 menit berjalan kaki dari tempat kerja. Namun, aku biasa berangkat kerja menggunakan sepeda motor agar bisa sampai lebih cepat.
Dua minggu pertama bekerja, aku masih bersemangat. Sebab aku mendapat teman-teman yang asik, bahkan manager yang memegang proyek parsel tersebut sangat baik. Pekerjaan yang aku jalani juga tidak terlalu berat, jadi aku masih enjoy dalam menjalaninya.
Hingga memasuki minggu ketiga, aku mulai merasa tidak nyaman. Banyak atasan di perusahaan tersebut yang memperebutkan jabatan, tidak termasuk manager-ku tentunya. Sehingga para atasan tersebut membuat peraturan-peraturan yang memberatkan karyawan demi mendapatkan perhatian dari pemilik perusahaan. Jujur saja, di titik ini aku mulai muak.
Musabab kondisi tempat kerja yang tidak nyaman, aku mulai sering bolos. Ingin mengundurkan diri, tetapi aku masih membutuhkan uang untuk pegangan di hari Raya Idul Fitri. Maka dari itu, aku kuat-kuatkan saja bekerja di perusahaan tersebut.
Setiap bolos kerja, aku selalu beralasan tidak enak badan. Padahal, kenyataannya seharian itu aku tiduran di kasur sembari memainkan smartphone. Hingga di suatu hari, saudaraku memberikan informasi yang sangat bermanfaat.
“Sakit lagi?” tanya saudaraku.
“Iya, kayaknya ga enak badan”
“Dibikin enjoy aja kerjanya, tanggung sampe lebaran. Kalau bosen, coba jalan-jalan ke arah barat, di sana ada bukit indah”
“Iya, pasti aku kelarin sampe lebaran. Emang ada bukit apa?”
“Bukit apa yah namanya, ga tau. Tapi katanya mau digusur buat jadi kawasan industri”
“Coba kesana yuk”
“Ntar kalo libur ya”
“Oke”
Sejujurnya aku penasaran dengan bukit yang disebutkan oleh saudaraku. Pasalnya, di wilayah ini aku hanya melihat kawasan industri yang sangat luas, mungkinkah ada bukit indah di sekitar sini? Entahlah, aku pun tak sabar menunggu saat libur tiba agar bisa melihat secara langsung bukit yang dimaksud oleh saudaraku.
Menemukan ‘Cinta’
Hari minggu pun tiba. Rencananya aku, saudaraku, dan teman satu kontrakan lainnya ingin mengunjungi sebuah bukit di tengah kepungan kawasan industri. Namun, kebetulan saudara dan temanku tidak bisa ikut karena ada pekerjaan mendadak. Alhasil, aku pun berencana mengunjungi bukit itu sendirian. Kata saudaraku, aku hanya perlu mengikuti jalan ke arah barat, setelah sekitar 5 KM pasti akan melewati bukit tersebut.
Awalnya aku ingin mengunjungi bukit ini pada pagi hari sembari menikmati sunrise, tetapi hari itu aku sibuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju, mencuci motor, menyapu, dan sebagainya. Sehingga baru ada waktu luang sekitar pukul 17.30 WIB. Saat itu juga aku segera bersiap untuk mengunjungi bukit yang membuatku penasaran.
Aku mengikuti instruksi dari saudaraku untuk pergi ke arah barat hingga akhirnya menemukan gapura bertuliskan “SELAMAT JALAN” yang berarti aku sudah meninggalkan Desa Cicau. Dengan kata lain, kini aku berada di sebelah Desa Cicau, yaitu Desa Sukadami.
Tak lama setelah itu, mataku dimanjakan oleh panorama hijau yang sangat indah. Hamparan perbukitan di kanan dan kiri jalan seakan membawaku menuju dunia lain. Sebab kondisinya sangat kontras dengan wilayah di sekitarnya yang dikelilingi oleh kawasan industri. Bahkan, udaranya pun berbeda dengan perkotaan yang berbau asap kendaraan. Di sini, aku bisa merasakan ketenangan dan melupakan semua beban masalah. Apa lagi ketika aku melihat mentari yang mulai bersembunyi di balik bukit, rasanya sangat damai.
Sebenarnya aku ingin berlama-lama menikmati panorama indah yang disajikan oleh semesta, tetapi waktu enggan berkompromi. Waktu seakan berputar begitu cepat hingga menyisakan bias cahaya jingga dari mentari yang mulai pergi. Meskipun hati ingin tetap bertahan dan menikmati, tetapi aku harus kembali sebelum petang benar-benar datang. Sebab, di sepanjang jalan perbukitan ini tak ada penerangan yang memadai. Terlebih aku tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kondisi jalan di wilayah ini, sepertinya akan berisiko bila aku belum pulang ketika petang datang.
Setelah mengunjungi bukit yang indah itu, aku kembali bersemangat dalam bekerja. Pasalnya, ada sesuatu yang aku tunggu setelah pulang kerja, yaitu memandang keindahan semesta di bukit tengah kota. Oh, iya. Menurut teman kerjaku yang merupakan penduduk sekitar, nama bukit ini adalah Bukit Cinta. Pas. Sesuai namanya, bukit ini dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan tatkala hati mulai rapuh, pikiran dipenuhi beban, dan semangat kian memudar. Pada akhirnya, aku bisa terbebas dari semua beban itu berkat keindahan Bukit Cinta.
Bukit Cinta yang Membuat Candu
Hari-hari selanjutnya, selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Bukit Cinta. Bukit indah yang ada di Kabupaten Bekasi, sebuah keajaiban di tengah kepungan kawasan industri. Warna hijaunya sangat kontras dengan warna bangunan penghasil polusi yang ada di sekitarnya. Aku kembali mengagumi bukit ini untuk yang kesekian kalinya. Sebab selalu ada sesuatu baru tatkala aku mengunjungi bukit ini, setidaknya, semangat baru bisa kudapat.
Bukit ini merupakan pelarianku ketika terlalu letih dalam menjalani hari-hari. Aku seakan mendapat angin segar yang membawa semua beban dalam tubuhku pergi menjauh ketika berdiri di atas Bukit Cinta. Damai, tenang, dan nyaman, itulah yang aku rasakan. Terlebih, mentari yang mulai sayup selalu mewarnai bukit ini menjelang temaram. Aku pun hanyut dalam suasana syahdu yang tercipta dari komponen semesta. Sungguh, suasana di atas Bukit Cinta membuat candu bagi para penikmatnya.
Sejujurnya aku ingin bermalam di atas Bukit Cinta, mendirikan tenda, membuat api unggun, dan menikmati gemintang di tengah malam. Wah, rasanya sangat luar biasa bila itu bisa terwujud. Namun, itu hanya angan semata karena aku tidak pernah bisa mewujudkannya. Tak masalah, sebab bagiku, menikmati sunrise di atas Bukit Cinta sudah lebih dari cukup untuk menghibur hati yang terkadang rapuh.
Aku bersyukur bisa bertemu dengan Bukit Cinta yang telah memberikan banyak hal dalam hidup ini. Menemani ketika aku hampir menyerah, membantu berdiri ketika aku lelah, dan memberi nafas ketika aku terengah. Sungguh, keindahan Bukit Cinta tidak hanya membuat candu, tetapi juga mampu memberikan warna baru dalam hidup.
Perpisahan dengan Bukit Cinta
Waktu begitu cepat ketika kita menikmatinya, itulah yang aku rasakan. Bukit Cinta sudah mengubah rasa putus asa karena masalah pekerjaan, menjadi semangat yang membangkitkan. Setiap petang aku menikmati kebersamaan dengan Bukit Cinta, sehingga tak terasa sudah banyak waktu yang berlalu. Hari ini masa kontrak kerjaku habis dan besok sudah Hari Raya Idul Fitri. Rencananya, nanti malam aku akan pulang kampung. Itu berarti aku harus meninggalkan Bukit Cinta dan entah kapan bisa kembali mengunjunginya lagi.
Setelah mengemas semua barang-barang untuk dibawa pulang, aku memiliki sedikit waktu luang di sore hari. Aku pun mengunjungi Bukit Cinta untuk yang terakhir kalinya. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di hari terakhir ini, aku merasa sendu tatkala menginjakkan kaki di atas Bukit Cinta. Sejenak kupejamkan mata untuk menikmati aroma rerumputan dan hempasan angin yang menerpa wajah.
Suara burung yang hendak pulang ke sarang, memecah ketenangan. Sinar mentari berubah menjadi jingga ketika sebagian lingkarnya bersembunyi di balik Bukit Cinta. Dari kejauhan, suara doa berbuka puasa dikumandangkan. Biasanya, ketika mendengar doa tersebut aku sudah berada di jalan pulang menuju kontrakan. Maka dari itu, tak jarang aku berbuka puasa di jalan. Namun, berbeda dengan hari ini. Aku sengaja membawa sebotol air untuk membatalkan puasa. Ya, aku memutuskan berbuka puasa di atas Bukit Cinta. Sebab, aku ingin berada di sini sedikit lebih lama dari biasanya.
Temaram, dan aku masih belum beranjak pergi. Suara kendaraan yang sedari tadi mondar-mandir, kini sudah jarang terdengar. Rasa khawatir karena hari mulai gelap, tak aku pedulikan. Aku merasa tidak sendirian, sebab masih ada Bukit Cinta yang menemani.
Suara takbir Idul Fitri mulai berkumandang, aku tahu harus segera bergegas untuk menunaikan kewajiban. Sebelum aku pergi, sejenak ku terdiam mengamati Bukit Cinta untuk yang terakhir kalinya. Kuhirup napas dalam-dalam untuk menikmati aroma Bukit Cinta, lalu ku hembuskan dengan pelan agar merasa tenang. Setelah itu, aku pun pamit kepada Bukit Cinta.
“Selamat tinggal…”.
Datang Kembali untuk Sesaat
Beberapa hari setelah Idul Fitri, aku kembali menjalani kehidupan seperti biasa di kampung halaman. Aku mulai menyebar lamaran ke beberapa perusahaan, baik secara online maupun melalui pos, sama seperti pengangguran lainnya. Aku mengirim lamaran ke perusahaan-perusahaan yang letaknya tidak jauh dari Bukit Cinta. Sebab aku masih memiliki keinginan untuk mengunjunginya lagi.
Entah suatu kebetulan atau memang takdir Tuhan, tiba-tiba aku dihubungi oleh saudaraku untuk bekerja di perusahaan itu lagi. Sebenarnya ada perasaan dilema ketika aku mendapatkan tawaran ini. Sebab, bagaimana pun aku sudah mengetahui seperti apa perusahaan tersebut. Namun, di sisi lain aku juga bisa bertemu kembali dengan Bukit Cinta bila menerima tawaran ini.
“Tenang aja, kamu ga ditempatkan di sini, kok, tapi di kantor vendor dengan Maman sama Herman”
“Emang kantor vendornya di mana?”
“Ga jauh dari kantor sini, jadi kita masih bisa ngontrak bareng”
“Bikin parsel lagi tah?”
“Bukan, tapi jadi penjaga langsiran. Mengawasi keluar-masuk barang”
“Emang kapan mulai kerjanya?”
“Kalau kamu mau, langsung aja ke sini. Ntar hari senin udah mulai kerja”
“Aku pikir dulu, deh. Ntar malam aku kasih jawabannya, yah”
“Okee”
Sore itu aku berpikir dengan keras tentang tawaran ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya. Ada beberapa alasan mengapa aku menerima pekerjaan di tempat itu lagi. Alasan yang pertama, tentu karena aku bisa mengunjungi Bukit Cinta. Kedua, aku ditugaskan di kantor vendor, bukan di kantor yang memiliki banyak atasan pencari muka. Ketiga, aku ingin mengumpulkan uang sembari berancang-ancang untuk menemukan pekerjaan baru. Rencananya, selagi aku bekerja di tempat tersebut, aku juga akan mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih baik. Jadi, daripada menganggur dan tidak memiliki uang, lebih baik aku paksakan bekerja di tempat itu untuk sementara.
Hari minggu pun tiba, aku berangkat kembali ke perantauan agar besok senin mulai bekerja. Ada perasaan senang yang datang dari hati, mengingat aku akan bertemu dengan Bukit Cinta lagi. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB ketika aku kembali menginjakkan kaki di kontrakan ‘abu-abu monyet’, sebuah kontrakan berwarna abu-abu yang terletak di dekat Kantor Desa Cicau, Cikarang Pusat. Ternyata teman satu kontrakan yang sebelumnya ikut dalam proyek parsel juga kembali bekerja di sini. Alhasil, kontrakan ini kembali diisi oleh tiga orang.
Awalnya, sore itu juga aku ingin mengunjungi Bukit Cinta, tetapi ku batalkan karena kondisi badan yang masih lelah setelah menempuh perjalanan dari kampung. Jadi, kutunda dulu pertemuan dengan Bukit Cinta.
Hari senin datang, aku pun kembali mengenakan seragam yang sama seperti beberapa waktu lalu. Seperti kata saudaraku, kini aku ditempatkan di kantor vendor bersama dengan dua rekan lainnya. Namun, aku sedikit kaget ketika merasakan secara langsung pekerjaan ini.
Berdasarkan perkataan saudaraku, tugasku hanya mengawasi produk yang keluar-masuk. Ternyata bukan hanya itu, aku juga harus membantu menaikan dan menurunkan produk dari dan ke dalam mobil (bongkar-muat). Alhasil, baru sehari bekerja aku sudah merasa letih karena produk yang aku angkat berukuran besar, seperti kursi, sofa, meja, ranjang, dan sebagainya. Bukan hanya itu, pekerjaan ini juga terasa sangat membosankan bagiku.
Musabab tidak menyukai pekerjaan ini, aku jadi lebih sering mengunjungi Bukit Cinta. Selepas bekerja, alih-alih pulang ke kontrakan, aku pasti langsung menuju Bukit Cinta. Sebab aku selalu merasa tenang tatkala memandangi hamparan rerumputan yang ada di atas Bukit Cinta. Namun, setelah kembali di tempat kerja, rasa tenang itu hilang begitu saja. Entah mengapa, aku tidak terlalu menyukai pekerjaan ini.
Setelah sekitar 4 bulan bertahan dengan pekerjaan ini, akhirnya aku menyerah. Aku memutuskan untuk resign dari tempatku bekerja. Setelah resign, aku berencana untuk mencari pekerjaan baru sehingga tidak langsung pulang kampung. Dengan begitu, aku masih bisa mengunjungi Bukit Cinta. Namun, takdir berkata lain. Hingga sisa uangku menipis, aku tidak juga mendapat pekerjaan. Alhasil, aku pun memutuskan pulang kampung. Untuk yang kedua kalinya, aku harus berpisah dengan Bukit Cinta.
Perpisahan yang Sesungguhnya
Berbulan-bulan aku berada di kampung halaman sembari mencari pekerjaan, hingga akhirnya aku diterima bekerja pada salah satu perusahaan otomotif yang ada di Kawasan Industri MM2100, Cibitung. Aku pun kembali merantau dan mengontrak di dekat perusahaan tersebut. Letaknya memang lumayan jauh dari Bukit Cinta, tetapi aku sudah mengatur rencana untuk mengunjunginya ketika ada waktu luang.
Diluar dugaan, ternyata pekerjaanku kali ini benar-benar sibuk. Aku diharuskan bekerja lembur karena permintaan produksi yang meningkat. Hal tersebut membuatku tidak memiliki banyak waktu luang. Kalaupun ada sedikit waktu luang, itu ku gunakan untuk beristirahat. Alhasil, sudah berbulan-bulan aku tidak mengunjungi Bukit Cinta lagi.
Setelah beberapa bulan digempur dengan pekerjaan yang menumpuk, akhirnya hari itu pun tiba. Permintaan produksi kembali normal, tidak sebanyak bulan-bulan sebelumnya. Aku pun tidak diwajibkan untuk lembur sehingga memiliki banyak waktu luang. Tentu saja, aku langsung merencanakan untuk mengunjungi Bukit Cinta di akhir pekan. Sebab aku sangat merindukan bukit indah yang ada di tengah kawasan industri ini.
Hari yang ditunggu pun tiba. Sore itu, aku mengendarai sepeda motor menuju Bukit Cinta. Di sepanjang perjalanan, aku merasakan hati yang berdebar. Sebab, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Bukit Cinta, bukit yang pernah menguatkanku ketika rapuh.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di Bukit Cinta. Namun, bukan kegembiraan yang aku dapatkan, melainkan kesedihan.
“Apa yang terjadi?” Batinku.
Bukit Cinta yang kulihat di depan mata, bukanlah bukit yang ku kenal. Semuanya berubah drastis. Aku tak melihat rumput-rumput hijau, tak meraskan udara sejuk, tak mendengar suara burung-burung, dan tak merasakan ketenangan yang dulu ku dapatkan dari Bukit Cinta. Di mana cinta itu?
Dari tempatku berdiri, aku hanya melihat hamparan pasir yang luas. Tak ada rerumputan hijau dan gundukan tanah yang menjulang tinggi. Bukit Cinta yang selama ini kurindukan, kini sudah hilang. Berbagai emosi kurasakan: marah, benci, sedih, dan menyesal. Ada banyak rasa yang ingin ku keluarkan. Tanpa sadar, aku berteriak dengan kencang untuk melepaskan semua emosi yang sudah tak terbendung lagi.
Aku tahu, apa dan siapa yang menyebabkan kehancuran Bukit Cinta. Tentu saja, makhluk sejenisku merupakan dalang dibalik semuanya. Sebagai manusia, aku terluka melihat ini. Keindahan alam ciptaan-Nya, diambil paksa oleh tangan-tangan yang kejam. Keinginan serakah manusia, membuat kehancuran yang nyata. Aku malu pada rerumputan yang dilindas mobil pengangkut pasir, malu pada ulat yang kehilangan tempat tinggalnya. Ternyata, makhluk sejenisku sangat tak berperasaan.
Hingga senja tiba, aku terus merenungi semua ini. Aku marah pada diriku sendiri karena tak bisa berbuat apapun, tak bisa menolong teriakkan alam yang kesakitan, terlindas, dan dihancurkan. Mempertanyakan AMDAL pun percuma, karena semua sudah dibungkam oleh banyaknya rupiah. Bukit Cinta, maafkan aku dan jenisku.