Rasa bersalah itu muncul bersamaan dengan tangisan bayi yang semakin kencang. Istriku terus berusaha untuk menenangkan si bayi sembari menggendongnya, tetapi tangisnya tak berhenti. Sementara itu, aku sebagai ayah si bayi justru ripuh dengan pemikiran sendiri. Ada banyak pertanyaan di kepalaku yang begitu mengganggu: Apa yang sebenarnya terjadi pada si bayi? Apakah dia kesakitan? Apakah dia menderita? Apakah kami tidak bisa merawatnya dengan baik? Sejujurnya, hal tersebut membuatku merasa gagal menjadi orang tua. Hingga akhirnya, suatu kejadian memperbaiki semuanya.
Rasa Khawatir Di Tengah Kebahagiaan
Aku masih menunggu dengan sabar di bangku rumah sakit sembari mengucapkan doa kepada Sang Pencipta. Perasaanku bercampur aduk, antara khawatir, bahagia, resah, dan takut. Bagaimana tidak, di ruang operasi, istriku sedang berjuang di antara hidup dan mati dalam melahirkan anak kami. Aku terus menunggu suara tangisan bayi dengan hati yang berdebar-debar. Namun, terlalu lama menunggu membuat pikiranku semakin tak karuan, bayang-bayang kesalahan di masa lalu pun timbul kembali.
Aku jadi teringat beberapa bulan yang lalu ketika istriku pertama kali memberikan hasil Test Pack bergaris dua kepadaku. Sehari setelahnya, kami melakukan perjalanan jauh untuk pulang kampung. Perjalanan yang ditempuh selama 4 jam menggunakan motor itu, pada akhirnya membuat masalah pada kehamilan istriku. Sampai-sampai istriku harus bed rest selama beberapa hari ke depan. Inilah kesalahan pertama yang aku lakukan setelah istriku hamil. Sejujurnya, kesalahan tersebut masih terngiang di kepalaku hingga sekarang.
Selama hamil, istriku sudah 3 kali masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena beberapa alasan, seperti mual-muntah berlebihan, badan lemas, dan merasakan sakit yang amat dahsyat di perut. Semua itu terjadi di trimester pertama dan kedua. Saat istriku masuk IGD, aku merasa bahwa itu adalah kesalahanku. Aku menghubungkan kejadian tersebut dengan peristiwa di awal kehamilan ketika aku memaksakan ego untuk pulang kampung. Aku merasa bersalah atas hal buruk yang terjadi pada istriku dan kandungannya.
Memasuki trimester ketiga, kondisi istriku mulai membaik. Saat itu, aku mengira bahwa istriku sudah berhasil melewati masa-masa berat kehamilan. Namun, ternyata aku salah. Ada satu peristiwa lagi yang harus dilewati oleh istriku sebelum menyelesaikan masa hamilnya, yaitu proses melahirkan.
Awalnya dokter memberitahu kami bahwa Hari Perkiraan Lahir (HPL) istriku akan jatuh pada awal Januari 2023. Namun, ternyata ketika kami melakukan kontrol yang terakhir pada minggu ke 39, terlihat lilitan tali pusat pada leher janin. Hal tersebut membuat dokter memutuskan untuk melakukan proses persalinan secara sesar. Dan waktu operasi dipercepat, yaitu pada akhir Desember 2022. Jujur saja, kami sempat kaget mendengarnya tetapi akhirnya kami menuruti perintah dokter. Kami yakin, pasti itu adalah langkah terbaik.
Sehari sebelum jadwal operasi, kami datang ke rumah sakit untuk persiapan. Rencananya, istriku akan dirawat hingga waktu operasi tiba. Sebelum dirawat, istriku diwajibkan untuk melakukan tes Swab Antigen dan Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Disinilah hal tak terduga terjadi. Ternyata hasil tes Swab Antigen maupun PCR menunjukan hasil positif, yang artinya istriku terpapar virus Covid-19.
Fakta tersebut membuat aku khawatir dengan kesehatan istriku dan janin yang ada di dalam perutnya. Terlebih, dokter juga menunda jadwal operasi sesar untuk beberapa hari ke depan hingga istriku negatif Covid-19. Saat itu aku benar-benar takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Mau tak mau, kami harus menerima protokol kesehatan ini dan menunda operasi sesar untuk isolasi mandiri. Untung saja dokter yang menangani istriku sangat baik, sehingga selama masa isolasi mandiri, kami bisa bertanya-tanya seputar kehamilan istriku melalui pesan jarak jauh.
Lima hari sudah berlalu, dokter menyuruh istriku untuk tes PCR lagi. Jika hasilnya sudah negatif, maka istriku bisa langsung ke rumah sakit agar dijadwalkan untuk operasi sesar. Namun, jika hasilnya positif, maka kami harus menunggu lagi. Selagi menunggu hasil tes PCR keluar, kami tak lelah mengucap doa agar mendapatkan hasil yang terbaik. Hatiku saat itu benar-benar tidak tenang.
Beberapa jam kemudian hasil tes PCR keluar. Namun, kami harus menelan kekecewaan untuk yang kedua kalinya karena hasilnya masih positif.
Alhasil, dokter pun menyuruh kami untuk menunggu sekitar tiga hari kedepan untuk melakukan tes PCR lagi. Sebenarnya aku bisa mengetahui kalau dokter merasa tidak enak dengan kami, pasalnya harga tes PCR lumayan mahal. Meskipun demikian, dokter juga tidak bisa berbuat banyak karena ini merupakan protokol yang harus dijalankan.
Hari ketiga pun tiba. Rencananya, istriku akan melakukan tes PCR lagi. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Tiba-tiba perut istriku merasakan sakit yang luar biasa. Aku tak yakin apa yang terjadi, tetapi mungkin ini adalah kontraksi menjelang persalinan. Maka dari itu, aku segera membawa istriku ke IGD.
Di IGD, istriku dirawat dan dicek kesehatan serta kehamilannya. Dan saat itu juga, dokter memutuskan untuk melakukan operasi sesar. Lalu bagaimana dengan tes PCR yang harus dilakukan oleh istriku? Sepertinya pertimbangan keselamatan istriku dan janin yang ada di dalam kandungannya jauh lebih penting dari hasil tes PCR. Sehingga dokter hanya menyarankan kami untuk tes Swab Antigen saja. Alhamdulillah, hasil tes Swab Antigen istriku negatif sehingga hari itu juga istriku melakukan operasi sesar.
Dan…
Disinilah aku sekarang. Di sebuah ruang tunggu Rumah Sakit dengan ditemani rasa khawatir dan hati berdebar menantikan persalinan istriku yang dilakukan secara sesar. Tak henti-hentinya mulut ini mengucap doa agar proses persalinannya berjalan lancar dan diberikan kesehatan untuk istri serta anakku.
Tuhan menjawab doaku. Beberapa menit kemudian seorang suster keluar dari ruang operasi sembari membawa bayi di dalam inkubator. Tangisnya sungguh kencang yang menandakan bahwa si bayi baik-baik saja.
Suster memanggilku untuk melihat bayi cantik yang ada di dalam inkubator tersebut. Jujur, aku sangat terharu dan bahagia ketika pertama kali melihat anakku.
Aku pun bertanya perihal kondisi istriku yang masih ada di dalam ruang operasi. Suster bilang kalau istriku baik-baik saja dan sedang menjalani proses observasi pasca operasi. Syukurlah, semua berjalan dengan lancar.
Tak berapa lama aku dipanggil oleh suster untuk mengumandangkan adzan pada anakku. Aku pun melaksanakan tugas tersebut dengan semangat. Rasanya aku ingin segera memeluk bayi yang ada di depanku itu.
Beberapa jam kemudian, istriku dipindahkan ke kamar rawat inap. Anakku juga tidur bersama kami di kamar tersebut. Sungguh, aku ingin menggendongnya tetapi aku tak bisa. Sebab, baik aku maupun istriku belum pernah merawat bayi sama sekali. Jadi, selama masa rawat inap tersebut, kami diajari oleh suster untuk menggendong bayi, membersihkan popoknya, hingga memandikannya. Tak butuh waktu lama, istriku langsung bisa melakukan semua itu. Sedangkan aku hanya bisa melakukan hal dasar saja, seperti menggendongnya.
Merasa sudah mendapatkan pengetahuan dan bekal yang cukup untuk merawat bayi, aku dan istri bertekad untuk merawat bayi ini sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Maka dari itu, kami menolak dengan halus ajakan orang tua untuk tinggal di kampung halaman.
Keesokan harinya, kami sudah diperbolehkan untuk pulang. Luka bekas operasi istriku juga cepat mengering karena menggunakan metode Enhanced Recovery After Cesarean Surgery (ERACS).
Sesampainya di rumah, aku segera merapikan kamar dan menata barang-barang agar nyaman ditempati oleh keluarga baru kami. Setelah itu, kami langsung bercanda dengan bayi yang lucu ini.
Oh, iya. Orang tua kami tidak ada yang bisa hadir karena memang terkendala jarak dan ada beberapa alasan lain. Jadi, mereka menyarankan kami pulang kampung dan tinggal bersama mereka agar bisa membantu merawat bayi kami. Namun, kami tolak dan lebih memilih tinggal di rumah sendiri. Alhasil, hanya ada aku dan istriku di rumah ini yang akan merawat bayi kami.
Ternyata merawat bayi tidak semudah yang dibayangkan.
Beberapa jam setelah kami sampai di rumah, bayi kami menangis sejadi-jadinya. Berbeda dengan tangisan sebelumnya yang bisa kami hentikan, pada tangisan kali ini kami tidak bisa menghentikannya. Padahal kami sudah coba berbagai cara untuk menghentikan tangisannya, tetapi kami selalu gagal. Bahkan, ketika disusui, si bayi menolaknya. Hal tersebut membuat kami, terutama aku, menjadi bingung dan khawatir.
Apa yang terjadi kepada si bayi sehingga menangis seperti itu? Apakah si bayi merasa kesakitan? Apakah dia menderita? Atau, apakah kami tidak bisa merawatnya dengan baik? Pertanyaan tersebut terus mengganggu pikiranku. Rasa bersalah pun mulai menghantui.
Kesalahan di masa lalu tatkala terjadi masalah dengan kandungan istriku karena aku memaksakan untuk pulang kampung, kembali muncul. Aku takut mengulangi kesalahan yang sama. Pikiranku semakin tak karuan, bahkan aku merasa bahwa yang kami lakukan ini salah. Tidak seharusnya kami merawat bayi ini seorang diri, harus ada orang berpengalaman yang mendampingi.
Aku coba menghubungi orang tua kami, tetapi tak ada satu pun yang menjawab. Sebenarnya aku bisa maklum karena selain sibuk, kedua orang tua kami juga termasuk orang tua yang jarang memegang handphone. Apalagi orang tuaku, ibu masih dalam penyembuhan tulang bahu yang patah karena kecelakaan dan ayah pasti sedang sibuk mengurus ibu di rumah.
Musabab tidak ada yang bisa dimintai tolong, aku pun semakin kalang kabut.
Untungnya, istriku masih menjaga kewarasannya. Berbeda dengan aku yang sudah panik tak karuan, istriku justru terus berusaha menenangkan si bayi. Bahkan, ia sempat menenangkan aku yang sedang kalap.
Udah, a. Mungkin mereka sedang sibuk. Coba panggilkan tetangga saja, dia kan jadi pengurus posyandu, siapa tahu mengerti masalah yang terjadi pada bayi kita.
Kata istriku sembari menenangkan.
Saat aku bergegas untuk memanggil tetangga, tiba-tiba handphone milikku berbunyi. Ternyata ayah dan kakak dari istriku menghubungi kami. Aku segera memberitahu masalah yang terjadi dan meminta petunjuk. Namun, semua menyarankan hal yang sama, yaitu memberikan susu formula untuk si bayi. Sebab, menurut mereka, si bayi masih belum bisa menyusu dengan baik sehingga harus dibantu oleh susu formula agar tidak kelaparan.
Kurang puas dengan jawaban tersebut, aku pun mencoba memanggil tetangga yang merupakan pengurus posyandu. Sama saja, tetanggaku juga menyarankan untuk memberikan susu formula karena kemungkinan bayi kami kelaparan.
Merasa buntu, akhirnya aku pun menuruti saran dari mereka untuk memberikan susu formula pada si bayi. Padahal, sebelumnya kami berencana untuk tidak menggunakan susu formula. Sebenarnya dokter pun menyarankan hal yang sama, yaitu tidak mengkonsumsi apa pun kecuali ASI. Namun, apa boleh buat, tidak ada pilihan lain. Aku pun memberikan si bayi susu formula.
Ternyata benar, setelah diberikan susu formula, bayi kami berhenti menangis. Aku sangat bersyukur karena masalah pada bayi kami sudah teratasi. Namun, setelah itu aku dibayangi oleh rasa khawatir yang berlebihan. Aku takut terjadi sesuatu lagi pada si bayi sehingga menyebabkannya menangis tanpa henti. Sejujurnya, kejadian tadi begitu memukul perasaanku dan telah menghilangkan rasa kepercayaan diriku.
Awalnya aku yakin, bersama istriku, kami bisa merawat bayi secara mandiri. Namun, kemudian pemikiran itu berubah. Aku merasa gagal menjadi orang tua dan takut merawat si bayi. Sungguh, aku takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap si bayi karena ketidaksanggupan dalam merawatnya. Aku pun terus membujuk istriku untuk tinggal dulu bersama orang tua di kampung halaman. Entah orang tuaku atau orang tua istriku, siapa saja yang terpenting berpengalaman dan bisa merawat bayi.
Merasa terpojok, akhirnya istriku setuju untuk tinggal sementara dengan orang yang berpengalaman dalam merawat bayi. Namun, tidak di kampung halaman karena jaraknya lumayan jauh. Istriku menyarankan untuk tinggal di rumah saudara yang ada di kota sebelah, sehingga setiap akhir pekan aku bisa menjenguknya. Aku pun setuju dengan saran tersebut. Bagiku, di mana pun itu asalkan ada orang yang berpengalaman dalam merawat bayi agar bayi kami aman.
Belum sempat membereskan pakaian untuk tinggal di rumah saudara, mamah (ibu dari istriku) menelepon. Mamah memberi saran pada kami agar tidak tinggal di rumah saudara karena berbagai alasan. Di situ, mamah juga mengatakan sesuatu pada kami yang membuat pemikiranku berubah.
“Jangan dulu ke rumah saudara, di sana tempatnya kurang nyaman untuk kamu. Sudah coba urus dulu bayi kamu sendiri. Kamu orang tuanya, jadi kamu yang lebih tau si bayi. Mamah yakin, kurang dari seminggu, kamu sama Wiko pasti bisa mengurus bayi sendiri. Nanti kalau memang ada hal yang tidak mengerti, kamu bisa video call mamah”
Kata Mamah pada istriku melalui telepon
Setelah mendengar perkataan mamah, aku jadi merasa malu. Bagaimana mungkin, aku menyuruh istriku untuk tinggal bersama orang lain agar bisa merawat anakku sendiri. Padahal aku adalah orang tua si bayi yang seharusnya bisa merawat dan menjaganya sekuat tenaga.
Mendapatkan semangat dari mamah, aku dan istriku kembali menguatkan diri. Kepercayaan diri kami bangkit kembali dan kami yakin pasti bisa merawat bayi ini, bayi kami sendiri.
Benar saja, beberapa hari kemudian, istriku semakin terampil dalam merawat bayi. Aku juga sering membantu istriku dalam merawat bayi kami. Bahkan, kami sudah bisa mengerti apa yang dirasakan si bayi. Kami bisa tahu kalau si bayi menangis karena lapar atau karena popoknya sudah penuh. Kami juga seakan bisa merasakan ketika si bayi kedinginan atau kesakitan. Mungkin terdengar aneh bahwa kami bisa mengerti perasaan si bayi, tetapi seperti itulah adanya.
Kini, sudah lebih dari dua minggu berlalu. Semua berjalan tanpa ada kendala yang berarti. Kami telah membuktikan bahwa kami bisa merawat bayi kami sendiri dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.
Masa Transisi Menjadi Seorang Ayah
Sebenarnya, apa yang terjadi padaku merupakan gejala yang bisa terjadi ketika mengalami masa transisi menjadi seorang ayah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Poppy Siska Putri dan Herlin Fitriani K dari Universitas Aisyiyah Yogyakarta dengan judul “Pengalaman Transisi Laki-Laki Menjadi Ayah: Scoping Review” mengungkapkan bahwa transisi menjadi seorang ayah dimulai sejak kehamilan hingga satu tahun kelahiran. Proses transisi ini bisa menyebabkan perubahan sosial baik secara psikologis maupun fisik yang sering kali tidak disertai dengan keterampilan, pengetahuan, dan sumber informasi yang memadai sehingga berdampak pada proses adaptasi menjadi ayah dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.
Penelitian tersebut juga menjelaskan beberapa dampak psikologis yang terjadi pada saat mengalami masa transisi menjadi seorang ayah, yaitu:
1. Tekanan Emosional dan Mental.
Peristiwa kelahiran bayi dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa dan ‘sangat menakutkan’ dalam kehidupan seseorang. Disebut ‘menakutkan’ karena setelah peristiwa kelahiran bayi, hidup seorang ayah akan berubah. Seorang ayah bisa mengalami depresi yang disebabkan kelelahan, keletihan, dan stress pada masa awal menjadi ayah karena tangisan bayi yang tak berhenti, kekurangan waktu tidur, hingga sulitnya menyeimbangkan waktu kerja. Selain itu, adanya perubahan hubungan dengan pasangan juga bisa menambah tekanan emosional.
2. Peningkatan Beban Tanggung Jawab.
Lahirnya bayi di dalam keluarga merupakan kebahagiaan bagi seorang ayah, tetapi juga berarti beban tanggung jawab bertambah, pengeluaran keuangan bertambah, dan pekerjaan rumah tangga juga bertambah. Seorang ayah merupakan tulang punggung keluarga yang salah satu tugasnya memberikan nafkah pada keluarga. Kondisi pengeluaran yang bertambah dan belum siapnya finansial serta kurangnya dukungan pengetahuan sering membuat seorang ayah merasa gagal menyediakan kebutuhan, kesehatan, dan kesejahteraan untuk keluarganya. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis ayah.
3. Depresi Pasca Postpartum.
Masa transisi digambarkan sebagai periode kurangnya waktu istirahat, kurangnya kepercayaan diri, dan memiliki tekanan emosional yang tinggi. Seorang ayah sangat sulit untuk membicarakan masalah kesehatan mentalnya dengan orang lain, bahkan dengan pasangan sendiri. Terlebih bila pasangannya mengalami masalah kesehatan mental yang sama. Ayah beranggapan bahwa depresi pasca persalinan adalah fenomena wanita, hanya sedikit ayah yang sadar bahwa depresi tersebut juga bisa terjadi pada dirinya. Hal tersebut membuat ayah tidak merasakan masalah mental yang terjadi padanya. Padahal, adanya depresi pada pasangan sangat penting diketahui sedini mungkin agar bisa dilakukan langkah pencegahan.
Mengenal Postpartum Depression pada Ayah
Seperti yang sudah diketahui bahwa salah satu dampak dari masa transisi menjadi seorang ayah adalah munculnya Depresi Pasca Postpartum atau Postpartum Depression atau Postnatal Depression.
Postpartum Depression adalah depresi yang terjadi setelah melahirkan. Gangguan kesehatan mental ini disebabkan oleh ketidakseimbangan zat kimia yang ada di otak dan dialami oleh 10% ibu yang melahirkan.
Ada yang beranggapan bahwa Postpartum Depression sama dengan Baby Blues, tetapi itu tidak benar. Baby Blues adalah perubahan emosi yang biasanya menyebabkan sang ibu menjadi cemas, sulit tidur, hingga menangis terus-menerus selama beberapa hari setelah melahirkan. Sedangkan Postpartum Depression membuat penderitanya merasa tidak bisa menjadi ibu yang baik, merasa putus harapan, bahkan sampai tidak mau mengurus bayi yang telah dilahirkannya.
Menurut artikel yang dibuat oleh dr. Nalini Muhdi, SpKJ dalam website Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, ada beberapa gejala yang dialami oleh penderita depresi pasca melahirkan, yaitu sebagai berikut:
- Murung, perasaan sedih.
- Sering menangis.
- Tidak mampu mengontrol diri.
- Perasaan tidak berharga.
- Cemas dan mudah panik.
- Menyalahkan diri sendiri atau merasa bersalah.
- Khawatir berlebihan tentang kesehatan dan bayinya.
- Mudah lelah dan kurang tenaga.
- Suara dan gerakan menjadi pelan.
- Agitasi atau merasa sulit berdiam diri.
- Kurang interest dalam berbagai aktivitas, termasuk hubungan seksual.
- Mudah tersinggung atau marah.
- Kurang bisa konsentrasi dan kemampuan membuat keputusan menurun.
- Gangguan tidur. Sulit tidur bahkan ketika bayinya sedang tidur.
- Bingung dan mudah lupa.
- Perasaan negatif terhadap tugas-tugas keibuan.
- Perasaan putus asa – inadekuat dan selalu pesimis.
- Emosi labil dan mood swings.
- Pikiran untuk mati dan terkadang sampai percobaan bunuh diri.
Gejala Postpartum Depression tidak hanya dialami oleh ibu, tetapi juga bisa dialami oleh ayah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Natasya Vergyano Reeven dan Ika Yuniar Cahyanti dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang berjudul “Gambaran Postpartum Depression pada Figur Ayah“, mengungkapkan bahwa 80% gangguan psikologi terjadi pada perempuan pasca melahirkan dan ganguan tersebut bisa dialami juga oleh suaminya. Jadi, bukan hanya ibu saja yang bisa mengalami Postpartum Depression, melainkan ayah juga.
Penelitian yang bertujuan untuk menggali lebih jauh mengenai hal-hal yang dapat mengembangkan Postpartum Depression pada figur ayah tersebut memiliki beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Ada beberapa hal yang dapat mengembangkan Postpartum Depression pada figur ayah seperti: adanya masalah kerjaan, adanya masalah perekonomian, terjadi perubahan hubungan dengan pasangan, dan kurang tidur atau istirahat.
2. Saat figur ayah mengalami Postpartum Depression ada beberapa hal yang dirasakan seperti: merasakan kemarahan yang tak tertahankan dan ingin meledakan amarah, mengalami gejala fisik (pegal-pegal, pusing, dan kepala terasa berat), mengalami perubahan nafsu makan (nafsu makan menurun), mengalami konsentrasi yang menurun atau buruk, sering merasa kelelahan, merasa ingin bekerja lebih banyak, dan merasa mudah emosional (marah).
3. Saat figur ayah merasakan emosi (marah) atau jika ada masalah, mereka cenderung lebih memilih untuk memendam emosinya dan menyelesaikannya sendiri.
Cara Mengatasi Postpartum Depression
Berdasarkan pengalaman merasakan gejala Postpartum Depression yang aku alami (merasa cemas, merasa bersalah dan merasa tidak mampu merawat bayi), aku memiliki beberapa cara untuk mengatasinya. Berikut ini beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi gejala Postpartum Depression pada ayah.
1. Mendapatkan Dukungan.
Saat seorang ayah mengalami gejala Postpartum Depression, segeralah mencari dukungan hingga mendapatkannya. Dukungan tersebut bisa berasal dari istri, orang tua, saudara, atau teman. Sebab mendapat dukungan dari orang terdekat sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan diri seorang ayah. Menurutku, kepercayaan diri inilah yang sangat penting untuk membangkitkan semangat dalam melawan gejala Postpartum Depression. Tatkala kepercayaan diri didapatkan, maka seorang ayah bisa melakukan hal-hal luar biasa, seperti bisa merawat bayi layaknya seorang ibu (memandikan, menggendong, dan sebagainya).
2. Tetap Menjaga Kesehatan Tubuh.
Gejala Postpartum Depression memberikan dampak buruk terhadap psikologi penderitanya. Hal tersebut dapat menjadi lebih buruk ketika kesehatan tubuh terganggu. Maka dari itu, sebisa mungkin tetap jaga kesehatan agar kondisi tidak semakin memburuk. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh, seperti menjaga waktu tidur, makan secara teratur, dan minum air putih yang cukup. Memang semua itu sangat sulit untuk dilakukan dalam keadaan depresi, tetapi tetap harus dilakukan agar kondisi tidak semakin memburuk. Ingat kata pepatah, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
3. Mengingat Masa Lalu Ketika Menginginkan Buah Hati.
Semua orang pasti pernah mengalami masa sulit, tak terkecuali figur seorang ayah. Salah satu masa sulit bagi seorang ayah adalah ketika dirinya merasa tidak bisa merawat sang buah hati karena adanya gejala Postpartum Depression. Salah satu cara untuk bisa melewati masa sulit itu adalah dengan mengingat masa lalu. Coba ingat-ingat lagi masa ketika belum memiliki buah hati. Lalu lihat si buah hati yang kini sudah lahir. Setelah itu, renungkan mengapa bisa dirimu menjadi depresi ketika sang buah hati ada di sisimu. Bukankah keberadaan si buah hati merupakan harapanmu di masa lalu yang sudah dikabulkan oleh Tuhan? Maka dari itu, kamu harus bisa merawat dan menjaganya dengan penuh tanggung jawab dan perasaan bahagia, bukan justru menghindarinya. Dengan mengingat masa lalu seperti ini, diharapkan bisa membuka pintu hatimu dan keluar dari jerat depresi.
4. Mendekatkan Diri Kepada Tuhan.
Mengalami gejala Postpartum Depression memang sangat berat, tetapi percayalah bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jadi, seberat apa pun ujian untuk terbebas dari gangguan kesehatan mental Postpartum Depression, tetaplah berusaha untuk lepas darinya dan jangan pernah menyerah. Tetap dekatkan diri dengan Tuhan Sang Pencipta yang mampu membolak-balikkan hati hamba-Nya. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, antara lain berdoa, beribadah, sabar, dan yakin dengan kebesaran-Nya.
5. Berobat Ke Dokter atau Psikiater.
Apabila semua cara untuk mengatasi gejala Postpartum Depression sudah dilakukan tetapi tidak ada perkembangan yang signifikan, terlebih bila gejala tersebut membuat penderitanya kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan mengganggu aktivitas merawat bayi, sebaiknya segera konsultasikan ke dokter. Dokter akan mendiagnosa pasien dengan menanyakan gejala dan melakukan wawancara secara mendalam. Setelah diketahui kondisi mental pasien, dokter akan menentukan langkah terbaik untuk menyembuhkannya.
Kesimpulan
Mendengar anakku yang masih bayi menangis tanpa henti, sempat membuatku merasakan kecemasan berlebih. Saat itu aku merasa bersalah, merasa tak bisa merawat bayi, dan merasa khawatir yang amat sangat, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada si bayi. Hal tersebut membuatku merasa tak berdaya dan menjadi ayah yang buruk. Bahkan, aku terus memojokkan istriku untuk tinggal bersama orang yang sudah berpengalaman dalam merawat bayi.
Ternyata yang aku alami tersebut merupakan salah satu gejala Postpartum Depression, gangguan kesehatan mental yang umumnya terjadi pada seorang ibu. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ayah juga bisa mengalami gejala tersebut. Beberapa penelitian juga mengungkapkan hal yang serupa. Jadi, bukan hanya ibu saja yang bisa mengalami Postpartum Depression, tetapi ayah juga bisa mengalaminya.
Ada beberapa gejala Postpartum Depression yang dialami oleh penderitanya, antara lain cemas, khawatir berlebihan tentang kesehatan bayinya, perasaan sedih, merasa tidak berharga, dan sebagainya. Gejala tersebut akan mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan aktivitas dalam merawat bayi. Maka dari itu, gejala Postpartum Depression harus dideteksi sejak dini agar bisa diatasi secepat mungkin. Sejujurnya aku tak menyangka akan mengalami gejala tersebut.
Untungnya, nasihat dari mamah membuat semangatku bangkit kembali. Pembicaraan bersama mamah melalui telepon dan bantuan yang diberikan melalui panggilan video, sangat membantu aku dan istriku. Kami seakan mendapat angin segar yang membuat kepercayaan diri kami tumbuh kembali. Hasilnya, kini kami sudah bisa merawat bayi kami sendiri dengan penuh rasa cinta.
Berdasarkan pengalamanku tersebut, aku menyadari bahwa kesehatan mental itu penting!
Bagi teman-teman yang ingin mendapatkan artikel menarik tentang kesehatan mental, silakan bisa kunjungi Blog Dear Senja. Di sana ada banyak artikel bermanfaat seputar kesehatan mental.
#DearSenjaBlogCompetition
Sumber:
- https://www.ejurnaladhkdr.com/index.php/jik/article/view/334/225
- https://www.alodokter.com/postpartum-depression
- https://rsjd-surakarta.jatengprov.go.id/wp-content/uploads/2020/06/Kesehatan-Jiwa-Maternal-Post-Partum-Depression.pdf
- https://e-journal.unair.ac.id/BRPKM/article/view/27601/pdf
Kayaknya cocok nih ke terapis atau konselor dapat membantu mengatasi masalah kesehatan mental yang mungkin dihadapi. hehehe…
Alhamdulillah tidak parah, sehingga masih bisa diatasi oleh dukungan orang-orang terdekat…