Ada banyak orang yang mengatakan bahwa melatih mental adalah berani malu. “Ayo jalan bebek! Jangan malu, anggap saja sedang melatih mental!”. Aku sering mendengar kata-kata tersebut. Biasanya orang yang mengucapkannya adalah senior yang sedang melakukan perploncoan. Entah itu di sekolah, kampus, atau organisasi, perploncoan seperti itu masih saja ada. Ketahuilah, aku adalah orang pertama yang menentang hal tersebut.
Katanya Melatih Mental
Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), aku melihat ada sebuah organisasi yang menurutku nyeleneh. Di dalam organisasi tersebut, aku sering melihat seniornya melakukan perbuatan yang konyol. Bagaimana tidak, pada sebuah kegiatan, para senior menuntun juniornya untuk menyusuri pedesaan di sekitar sekolah. Sesekali para junior di suruh untuk masuk ke got/saluran pembuangan dengan berjalan bebek. Ditambah, mereka memakai atribut yang memalukan seperti topi kerucut, sabuk tali rafia, dan muka yang dicoret-coret. Hal tersebut membuat aku keheranan.
Musabab rasa penasaran yang sangat besar, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada si senior.
“Mengapa melakukan hal tersebut? Bukankah itu memalukan?”
“Engga apa-apa, anggap aja sedang melatih mental”
Pernyataan dari si senior sontak membuat aku kaget. Melatih mental katanya? Bagaimana mungkin ada orang yang melatih mental dengan cara seperti itu?
Ironisnya, ternyata tindakan konyol yang katanya melatih mental tersebut bukan hanya dilakukan pada organisasi ini saja. Namun, hampir di setiap tempat yang terdapat kasta senioritas pasti ada hal seperti ini. Contohnya dalam kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS), terkadang senior yang seharusnya membimbing justru berbuat semena-mena terhadap juniornya.
Si senior berdalih bahwa yang dilakukannya hanya untuk seru-seruan saja agar lebih mengenal satu sama lain. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Pernyataan tersebut hanyalah pembenaran untuk melegalkan kegiatan minus yang dilakukan si senior. Sebab yang sebenarnya terjadi adalah perploncoan. Untungnya, sekolahku tidak seperti itu.
Sebenarnya aku sangat geram ketika melihat ada senior yang sedang membimbing anak didik baru dengan cara-cara konyol. MOS yang seharusnya dijadikan kegiatan untuk mengenalkan budaya sekolah, justru dinodai oleh kelakuan minus dari para seniornya.
Sadarlah! Bukan seperti itu cara melatih mental!!! Bayangkan saja, mental seperti apa yang tercipta dari pelatihan seperti itu? Mental baja dan bijaksana? Tentu tidak! Melainkan mental orang-orang bodoh yang mengaku senior.
Perploncoan Berkedok Melatih Mental
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “melatih” memiliki arti: mengajar seseorang dan sebagainya agar terbiasa (mampu) melakukan sesuatu; membiasakan diri (belajar). Sedangkan “mental” berarti: bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Jadi dapat disimpulkan bahwa melatih mental adalah kegiatan belajar dan membiasakan diri untuk memperbaiki batin serta watak yang ada di dalam diri manusia.
Melatih mental merupakan kegiatan yang sangat penting karena berhubungan dengan diri manusia dan berpengaruh terhadap wataknya. Maka dari itu, sudah selayaknya kita melatih mental dengan cara yang benar dan baik. Berhentilah melakukan kegiatan bodoh seperti memakai atribut memalukan, berjalan bebek, dan berteriak-teriak tidak jelas, dengan dalih melatih mental. Jangan teruskan kegiatan tersebut, terlebih bila sudah melakukan kekerasan fisik. Tinggalkan saja, bahkan harus dilaporkan dan diproses sesuai hukum.
Melatih mental bukanlah perploncoan. Siapa pun yang mengaku senior, tetapi masih melakukan perploncoan dan memaksa juniornya untuk melakukan hal bodoh, tidak layak dianggap sebagai senior. Mereka tak ayal hanyalah sampah yang ada di lingkungan sekolah, kampus, atau organisasi. Bagi junior yang menjadi korban perploncoan seniornya, harap untuk melapor kepada pihak penanggung jawab acara, entah itu guru, dosen, atau bahkan rektor.
Perploncoan sendiri, terutama di lingkungan sekolah, sudah dilarang sesuai dengan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016. Sanksinya bukan hanya dikenakan pada seniornya saja, tetapi juga bisa kepada Kepsek, dan bahkan sekolah itu sendiri. Setingkat lebih tinggi, pada lingkungan kampus, perploncoan juga bisa dikenakan sanksi yang lebih berat. Seperti yang diterangkan oleh artikel indonesiabaik.id, tentang perploncoan di kampus.
Misal terjadi bentakan yang tidak disenangi peserta bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Delik aduan diatur Pasal 335 KUHP Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang yang diancam pidana penjara maks. 1 tahun/denda maks. Rp4.500. Lalu bila terjadi makian kepada peserta bisa dikategorikan sebagai penghinaan dengan delik aduan diatur Pasal 310 ayat (1) KUHP asal unsur-unsurnya terpenuhi dan diancam pidana penjara maks. 9 bulan/denda maks. Rp4.500. Sementara bila terjadi delik penganiayaan kepada peserta. Untuk penganiayaan berat diatur Pasal 351 KUHP (diancam pidana penjara maks. 2 tahun 8 bulan/denda maks. Rp4.500), sedangkan penganiayaan ringan diatur Pasal 352 KUHP (diancam pidana penjara maks. 3 bulan/denda maks. Rp4.500).
indonesiabaik.id
Jadi jika kamu menemukan perploncoan, terlebih sudah kelewat batas dan terdapat tindak kekerasan, maka kamu harus melaporkannya. Jangan takut terhadap senior bodoh yang melakukan perploncoan, sebab mereka tak lebih baik dari sampah.
Melawan Indikasi Perploncoan
Saat masih menjadi mahasiswa, aku yang sudah semester 4 belum mengikuti Program Pengenalan Lingkungan Kampus (PPLK). Padahal kegiatan tersebut seharusnya sudah aku lakukan ketika menjadi mahasiswa baru. Namun, karena kesalahpahaman, aku yang sudah semester 4 belum mengikuti kegiatan PPLK. Musabab sudah terlewat, aku berencana untuk tidak mengikuti PPLK karena malas. Toh itu hanya kegiatan pengenalan kampus, aku kan sudah mengenal kampus ini, pikirku. Aku pun santai-santai saja.
Masuk ke semester akhir, aku mendapat informasi bahwa salah satu syarat sidang skripsi adalah memiliki sertifikat PPLK. Sontak aku pun kaget karena belum memiliki sertifikat tersebut. Bagaimana mau memiliki, orang aku saja belum mengikuti kegiatan PPLK yang seharusnya sudah dilakukan beberapa tahun lalu. Alhasil, aku pun berencana mengikuti kegiatan PPLK di tahun tersebut. Pastinya bersama dengan adik angkatan yang baru masuk di kampus ini.
Aku segera mengurus administrasi PPLK agar bisa mengikuti kegiatan tersebut secepatnya. Namun, setelah membaca persyaratan yang harus dibawa, aku sangat terkejut. Ada salah satu persyaratan yang menurutku tidak masuk akal, yaitu memakai topi dari bola plastik yang dibelah dan membuat papan nama dari kardus untuk diikat pada leher menggunakan tali rafia. Satu kata yang terlintas di pikiranku ketika membaca persyaratan tersebut adalah “konyol”.
Minggu pagi, aku datang ke kampus untuk mengikuti kegiatan PPLK. Semua persyaratan sudah kubawa, kecuali persyaratan yang aku anggap konyol. Aku sama sekali tidak membawa topi bola plastik dan papan nama dari kardus yang diikat pada leher. Saat itu aku mengenakan jas almamater kampus dengan sangat rapi, berbeda dengan peserta lain yang terlihat bodoh dengan menggunakan atribut konyol. Musabab tidak membawa persyaratan dengan lengkap, aku pun harus menjalani hukuman.
Apakah kalian tahu, apa hukumannya? Entahlah, aku pun tidak tahu kerena saat itu juga aku bergegas pulang dan meninggalkan kampus. Aku sadar betul dengan konsekuensi tindakanku ini. Aku yang pulang tanpa membawa sertifikat PPLK, tentu tidak bisa mengikuti sidang skripsi. Hal terburuknya, aku mungkin tidak bisa lulus kuliah. Namun, saat itu yang ada di pikiranku yaitu: Aku tidak akan mengikuti hal bodoh seperti itu, sekalipun risikonya tidak lulus kuliah. Jujur saja, aku merasa malu melihat mahasiswa baru yang mengenakan topi dari bola plastik dan papan nama dari kardus yang diikat pada leher. Mereka seperti orang-orang yang tidak berpendidikan. Maka dari itu, aku tak kuat melihatnya dan lebih memilih pulang.
Anggaplah bahwa yang aku lakukan tersebut adalah bentuk dari perlawanan terhadap hal-hal bodoh di lingkungan kampus. Aku pun berharap kalian bisa berani untuk melawan hal bodoh tersebut.
Di kegiatan PPLK gelombang kedua (tahun yang sama), aku kembali mendaftarkan diri. Pada acara kala itu, pihak kampus sepertinya sudah berbenah sehingga tidak ada persyaratan konyol lagi. Semua persyaratan yang ada, masih terbilang wajar sehingga aku bisa mengikuti kegiatan PPLK dengan baik. Akhirnya aku pun berhasil mendapatkan sertifikat PPLK yang akan digunakan sebagai syarat untuk mengikuti sidang skripsi.
Cara Melatih Mental
Menurut pandanganku, melatih mental tidak seperti membalikkan telapak tangan; melatih mental bukan hanya terjadi selama semalam, lalu bisa terbentuk dengan mantap; melatih mental tidak dilakukan dengan cara-cara yang justru akan merusak mental itu sendiri. Menurutku, melatih mental harus dilakukan dengan cara yang benar dan niat yang kuat. Sebab, melatih mental membutuhkan waktu yang tidak sebentar agar terbentuk dengan baik.
Alih-alih melatih mental (biasanya justru perploncoan yang terjadi) pada sebuah kegiatan yang dilakukan hanya beberapa hari saja, seperti MOS atau OSPEK, sebaiknya kegiatan tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Contohnya MOS, sebenarnya kegiatan tersebut adalah pengenalan lingkungan sekolah kepada anak didik baru. Jadi gunakan seperti semestinya, yaitu untuk mengenalkan budaya sekolah, sejarah sekolah, memperlihatkan ruangan yang ada di sekolah tersebut, dan sebagainya. Jangan ada istilah “melatih mental” yang padahal hanyalah pembenaran dari perploncoan semata.
Sebenarnya ada beberapa cara yang mudah dilakukan untuk melatih mental. Namun, cara ini harus dilakukan setiap hari dan dijadikan sebagai rutinitas agar bisa menciptakan mental yang baik. Berikut ini cara melatih mental yang mudah dilakukan.
- Beribadah tepat waktu.
- Bangun pagi.
- Berkata jujur.
- Disiplin terhadap waktu dan pekerjaan.
- Berolahraga setiap hari secara teratur.
- Bersabar dan ikhlas dalam menjalani hidup.
- Bersikap sopan.
- Menolong sesama selagi bisa.
- Belajar dari kesalahan dan tidak mengulang kesalahan yang sama.
- Bersyukur setiap hari.
- Melakukan hal baik lainnya.
Aku percaya bahwa melatih mental bisa dilakukan dengan mudah melalui kebaikan sekecil apa pun, asalkan dilakukan secara konsisten. Kegiatan melatih mental di atas hanyalah sebagian kecil dari kebaikan yang bisa dijadikan contoh untuk melatih mental. Tentu kalian bisa melakukan semua kebaikan lainnya yang kalian mampu.
Bagaimana menurut kalian? Bukankah cara melatih mental seperti itu jauh lebih baik daripada melatih mental dengan cara memakai atribut memalukan?
Berhentilah melakukan hal bodoh, lawan senior kalian bila mereka melakukan perploncoan!